• Skip to primary navigation
  • Skip to content

ROSID

Blog Inspiratif

  • Beranda
  • Blog
  • Arsip
  • Disklaimer

Archives for Agustus 2011

Tetesan Air Mata di Hari Raya

24 Agustus 2011 by Rosid

Lebaran tinggal menghitung hari, banyak orang yang tersenyum ceria siap-siap menyambut hari kemenangan dengan penuh kebahagiaan, tapi tidak untuk Rani. Rani harus banyak menghela nafas dan mengusap dada setiap kali teman-teman setingkatannya di kelas 4 SD saling menunjukan baju baru yang dibelikan oleh orang tuanya masing-masing. Bagi Rani untuk lebaran yang ketiga kalinya ini ia harus kembali berlebaran seadanya, membuang angan-angan untuk mendapatkan “sepatu kaca” seperti yang sering ia lihat di telapak kaki teman-temannya.

Tiga tahun lebih sudah, Ayah Rani merantau ke negeri Jiran, jangankan mengirimkan sejumlah uang untuk membelikan baju lebaran, berkirim kabarpun tidak. Ibunya yang hanya bisa mengais rejeki dari mencuci pakaian tetangga sekitarnya tidak sanggup untuk membelikan yang Rani inginkan. Beruntung, meskipun masih kecil Rani sudah mampu mengendalikan hasratnya, paling tidak dihadapan ibunya. Rani tidak mau ibunya semakin terbebani dengan kemauan-kemauannya. Rani tahu, meskipun ibunya tidak mampu membelikan apa yang ia inginkan bukan berarti ibunya tidak memahami apa yang diinginkannya. Walau kadang di belakang ibunya tak kuat lagi meneteskan air mata, ia terus berusaha tersenyum ceria sebisa mungkin dihadapan ibunya.

Adakalanya, lebaran adalah salah satu momen yang kurang Rani sukai. Ingin sekali rasanya kalau hidup ini tidak ada lebaran, tidak ada hari yang harus membuat ia bersedih. Tapi Ranipun sadar, tidak ada yang salah dengan hari lebaran, yang salah adalah ketika kita salah menyikapi dan merayakannya. Dan meskipun demikian, Rani sangat bersyukur betul mempunyai ibu yang benar-benar pahlawan, inspirator dan motivator bagi dirinya.

Malam menjelang lebaranpun tiba, sayup-sayup suara takbir dari berbagai surau kampung akhirnya meruntuhkan benteng senyuman Rani. Ia tak kuat lagi menahan air matanya yang sudah bergelayut kuat di pelupuk mata. Sebisa mungkin ia menahan air matanya, tapi memang ia sudah tak sanggup lagi, bibirnya kelu, alur napasnya terbata-bata, seketika ia peluk ibunya dengan erat-erat, sang ibupun tak sanggup membendung air matanya. Ibu dan putri darah dagingnya berpelukan dengan penuh deraian air mata.

Lebih dari sepuluh menit lamanya Rani dan ibunya berpelukan, selain tangisan tak ada satu katapun yang terucap dari keduanya. Sebagai seorang ibu, ibu Rani faham betul apa yang sedang dirasakan didalam diri putri semata wayangnya. “Maafin Rani Bu….. maafin Rani…”, suara Rani memecah suasana yang penuh tangisan. Ibu Rani tidak menjawab satu katapun, beliau belum bisa mengendalikan nafas dan tangisannya. “Maafin Rani ya Bu…..” lirih Rani seperti penuh rasa sesal dan bersalah. Ibu Rani hanya bisa menganggukan kepala dengan air mata yang terus bercucuran dipipinya.

“Maafin Rani bu, Rani sudah banyak menyusahkan ibu, Rani sudah banyak menjadi beban pikiran ibu, Rani sudah membuat ibu bersedih…”. Rani merasa berdosa, merasa berdosa karena ia tidak mampu membendung air matanya sehingga membuat ibunyapun larut dalam tangisan, padahal ia sama sekali tidak ingin membuat ibunya bersedih, Rani sadar bahwa ibunya sudah banyak melakukan segalanya melebih batas kewajiban sebagai orang ibu.

Ibu Rani, masih tersedu-sedu dalam tangisan, serasa bingung mau menjawab apa. Banyak hal yang membuat mereka bersedih. Penjelasan apa yang harus disampaikan pada Rani, membuat ibu Rani semakin bersedih. Keduanya sama-sama tahu dan sama-sama saling memahami. Persis malam itu hanya Rani, Ibu Rani, Malaikat, dan Allah saja yang tahu apa yang sedang dirasakan oleh Rani dan Ibunya, dimana saat bersamaan orang-orang disekitar rumah Rani sedang riang gembira bercengkerama dengan seluruh anggota keluarganya.

-oOo-

Sobat, sepenggal cerita fiksi (yang mungkin ada dikenyataanya) singkat diatas menggambarkan tidak semua orang bisa tersenyum penuh ceria seperti kebanyakan orang. Ada yang bersedih karena tidak bisa berkumpul bersama keluarga, karena mereka harus bekerja jauh dari keluarga atau bahkan harus menuntut ilmu di negeri orang, atau karena orang yang terkasihi sudah tidak lagi hidup di alam yang sama. Ada yang bersedih karena tidak bisa membeli baju baru sementara orang-orang disekitarnya begitu ramai yang membicarakan hal tersebut. Banyak yang kondisinya tidak jauh lebih baik dari gambaran cerita diatas. Tapi bagaimanapun tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bersyukur.

Sobat, disaat kita tidak bisa berlebaran bersama keluarga karena jauhnya jarak, ternyata masih banyak saudara-saudara kita yang jauh lebih bersedih karena kondisinya tidak lebih baik dari kita. Sementara untuk sobat-sobat yang bisa berlebaran tanpa satu kekurangan apapun (yang seolah-olah tidak ada alasana untuk bersedih), hendaklah bersikap sewajarnya dengan menjaga perasaan orang lain yang tidak bia seperti sobat, bayangkanlah kalau sobat berada pada posisi seperti Rani diatas.

Dan mudah-mudahan kita semua, seluruh umat Islam didunia bisa bersedih berjamaah. Bersedih karena kita akan berpisah dengan bulan suci Ramadhan, dimana belum tentu kita akan menemuinya kembali di tahun-tahun yang akan datang. Bersedih karena begitu banyak waktu / momen yang disia-siakan dibulan puasa. Bersedih karena banyaknya dosa yang sudah terkumpul. Dan Turut bersedih dimana saat kita bisa berlebaran, sementara banyak saudara-saudara kita dibelahan dunia yang lain masih harus terus berlumuran darah dan ujian.

Filed Under: Sastra

Bersiaplah Menjadi Seperti Buah Kelapa

20 Agustus 2011 by Rosid

Sejak kecil kita sudah diajarkan dan didorong untuk menjadi ‘pemenang’, berjuang dengan tangguh mengalahkan segala halang rintang. Motivasi digenjot sedemikian rupa supaya kita menjadi pribadi yang melejit dan penuh kesuksesan dalam karir. Dari sedemikian banyak motivasi pembangkit semangat supaya kita sampai pada puncak karir, entah apapun bidangnya, mau artis, politikus, pengusaha, pemimpin, pejabat, atau da’i sekalipun, saya sedikit ingin “belajar mengulas” tentang satu filosofi.

Heheheheeee… belajar main-main sama filosofi lagi nih ya, setelah sebelumnya kita bahas masalah Pohon Bambu dan Air. Yang coba kita ambil pelajarannya kali ini adalah buah kelapa. Kenapa Cuma buahnya ?.

Mengenai bagian pohon yang lainnya mulai dari akar atau proses tumbuhnya, kita anggap itu sebagai gambaran kita dalam meniti sebuah karir, step by step, setahap demi setahap seperti yang nampak pada pohon kelapa, sampai akhirnya menjulanglah karir kita ibarat tingginya pohon kelapa. Pepatah mengatakan “semakin tinggi prestasi kita, maka semakin kuat goncangannya”, persis semakin tinggi pohon kelapa maka semakin kuat goncangan dari angin yang  dirasakan.

Begitu kita sampai dipuncak, kita bukan hanya akan dihadapkan pada hembusan cobaan atau goncangan, tapi kita juga akan diperlakukan seperti layaknya buah kelapa, berikut gambaran sederhananya :

Dijatuhkan

Cara orang  memetik buah kelapa berbeda dengan memetik buah-buah lainnya, dipelintir lalu dijatuhkan.

Begitu kita sampai pada puncak karir atau mungkin sedang tinggi-tingginya prestasi kita, maka bersiap-siaplah untuk dijatuhkan. Ini bukan saya yang mengancam akan menjatuhkan, tapi sebuah hukum alam, hukum alam yang jangan sampai membuat sobat-sobat kaget saat menghadapinya dan bersiaplah untuk menhadapi kemungkinan yang seperti itu.

Ditusuk

Untuk mengupas buah kelapa, cara pertama dengan menusuknya terlebih dahulu supaya sabut dalamnya terbuka.

Filosofinya bukan hanya berarti kita akan ditusuk oleh senjata tajam begitu dipuncak karir (meskipun itu tidak menutup kemungkinan), bisa juga yang ditusuk adalah mental dan kepribadian kita. Masih mending kalau yang menusuk tersebut orang atau pihak yang selama ini menjadi kompetitor, tapi kalau kawan sendiri jelas itu sangat menyakitkan. Apakah kita harus siap juga ?. Ya, kita harus sangat siap dan itu bagian dari resiko dari apa yang telah kita capai.

Dijambak

Habis ditusuk, maka serabut buah kelapa yang terbuka tadi dijambak dan ditarik. (Mulai kasar nih cara mainnya).

Bukan tidak mungkin ini juga akan dialami oleh kita saat berada dipuncak, ini bisa diibaratkan “penggusuran” secara paksa posisi yang kita duduki atau mungkin peran yang sedang kita lakoni.

Dikupas Batoknya

Begitu semua serabut terlepas dari lapisan batok kelapa, maka tahapan selanjutnya adalah mengupas batoknya, biasanya menggunakan kapak kecil.

Hikmahnya, bukan tidak mungkin akan selalu ada yang tidak suka dengan kita dan berusaha menjatuhkan kita, baik mental maupun kedudukan. Yaitu dengan cara membongkar tentang semua aib dan kekurangan kita. Setiap keburukan kita yang sudah terjadi diekspos secara habis-habisan kepada khalayak ramai, dan yang belum terjadipun kita dijebak supaya melakukan kesalahan. Semakin kejam bukan ?

Dibelah dan Diparut

Begitu semua lapisan batok terkupas, maka selanjutnya daging kelapa dibelah dan diparut.

Ibaratnya, diri kita ini sudah habis “ditelanjangi” oleh orang yang tidak suka kepada kita. Semua aib kita diketahui oleh banyak orang, semua kesalahan kita sekecil apapun terus dibesar-besarkan. Yang tidak suka kepada kita tersebut belum tentu puas untuk “menghajar” kita, maka cara selanjutnya adalah menyebarkan kebencian dan fitnah supaya kita tidak punya lagi kawan, tidak ada lagi yang simpatik, dengan lingkungan dan keluargapun sebisa mungkin kita dibuat tercerai-berai. Sadis ya ?, ya memang kadang seperti itulah proses hidup, akan selalu ada konsekuensi atas apa yang kita perbuat.

Diperas

Parutan sudah terkumpul, selanjutnya tinggal diperas.

Setelah kita tidak punya lagi apa-apa, harga diri dirusak, dan keluargapun tercerai berai, atau diibaratkan diri kita ini sudah dibuat hancur, tapi “keadaan” masih menguji kita sobat, yaitu membuat kita tak berdaya, kalau perlu sampai dijemput malaikat maut. Apakah itu mungkin ?, si Rosid yang cetek ini berpendapat sangat mungkin.

Tapi yakinlah sobat, selama kita benar dan tidak bersalah tentunya kita tidak perlu khawatir. Setelah diperas sampai kering sekalipun maka yang akan keluar dari parutan kelapa tadi adalah sari patinya (santan). Artinya apa ?, artinya pada akhirnya kebenaran akan muncul, mana yang benar dan mana yang salah akan kontras.

Demikian kawan, sedikit coretan ringan yang saya tuangkan, mudah-mudahan bisa bermanfaat atau paling tidak bisa dijadikan pengingat bahwa kita tidak selamanya akan diatas, suatu saat kita akan jatuh.

Filed Under: Catatan Kaki, Inspirasi

Prediksi Cara Pembungkaman Nazaruddin

15 Agustus 2011 by Rosid

Nazaruddin Tiba Di KPK (VIVAnews/Fernando Randy)
Nazaruddin Tiba Di KPK (VIVAnews/Fernando Randy)

Baru-baru ini kita semua tahu, kehebohan melanda seantero persada nusantara saat dan setelah ditangkapnya M. Nazaruddin, mantan bendahara Partai Demokrat yang menjadi tersangka kasus korupsi Wisma Atle SEA Games di Palembang. “Kicauan-kicauannya” dari tanah pelarian sempat membuat gerah orang-orang yang disebutkan olehnya, seperti misalnya saat Edhie Baskoro Yudhoyono mengatakan “Nazaruddin itu politikus bukan penyanyi, dan nyanyian-nyanyiannya tidak enak didengar”.

Setelah Nazaruddin tertangkap, situasi jadi serba “tiarap”. Berbagai pertanyaan dan harapan hinggap di banyak kepala, pertanyaan atas mungkinkah Nazaruddin akan mengungkapkan semuanya selantang kicauannya di tanah pelarian ?, dan harapan akan adanya upaya bersih-bersih secara besar-besaran dimana Nazaruddin bisa berperan sebagai “whistle blower”.

Ditengah berbagai pertanyaan dan harapan tersebut, nampaknya rasa ragu dan ketidakyakinan kalau kasus yang melibatkan Nazaruddin bisa diusut, dibongkar dan diselesaikan dihadapan hukum yang pasti secara tuntas. Hal ini bukan tanpa alasan, karena sudah ada contoh kasus sebelumnya yang timbul – tenggelam – timbul – tenggelam – dan tidak timbul lagi, seperti kasus Bank Century, kasus Dirjen Pajak yang melibatkan Gayus Tambunan, kasus Dugaan Suap Pemilihan Deputi Gubernur BI, kasus pembunuhan Munir, dan berbagai kasus lainnya.

Melihat banyaknya orang-orang yang disebutkan oleh Nazaruddin di pelarian yang dikuatkan oleh pernyataan para mantan pekerjanya, muncul dugaan dimasyarakat kalau Nazarudin akan dibungkam supaya tidak membongkar kebobrokan dinegeri ini yang sedikit banyaknya melibatkan/diketahui olehnya.  Dan kalau memang itu terjadi (naudzubillah, mudah-mudahan tidak ada yang sampai sekeji itu ya), kurang lebih ada 3 (tiga) kemungkinan cara untuk membungkan Nazarudin supaya tidak “ngoceh”, antara lain ;

Pencucian Otak dan Ancaman

Ini dianggap cara yang paling memungkinkan, sebab ini merupakan cara yang bisa dibilang halus dan metafisik. Yang “dihajar” langsung mental dan pikirannya. Kita tidak perlu dulu membayangkan dengan cara “black magic” atau lain sejenisnya, cara yang paling sederhana adalah dengan memberikan kondisi lingkungan dan waktu yang membuat Nazarudin tidak nyaman, tertekan, dan klimaksnya membuat dia defresi dan stres.

Masih ingat dengan kasus pencucian otak yang dilakukan oleh NII ?, cara tersebut bukan tidak mungkin juga bisa dilakukan pada Nazaruddin. Pengkondisian yang terus menerus membuat tegang saraf dan meningkatnya tekanan darah akan sangat mempengaruhi cara berpikir seseorang dan fatalnya bisa mempengaruhi juga daya ingat yang berujung pada alzheimer atau bahkan lupa ingatan. Kalau sudah lupa ingatan atau minimal punya penyakit lupa akut, maka tidak akan ada lagi yang bisa diungkapkan oleh Nazaruddin.

Selain dengan cuci otak, bisa juga dengan ancaman mengenai keselamatan keluarganya. Sedikit banyaknya ancaman tersebut juga kembali akan mempengaruhi kondisi mental dan pikiran Nazaruddin. Meskipun ancaman tersebut belum tentu benar dilakukan, setidaknya sudah memberi tekanan psikologis bagi dia.

Dijanjikan dan Diberikan Keuntungan

Ini mengingatkan kita kembali kepada Gayus Tambunan, dipenjara di tahanan paling “strength” tapi bisa jalan-jalan sampai ke Bali. Bukan tidak mungkin juga kalau ada yang mau membungkam Nazaruddin dengan menjanjikan dan/atau memberikan berbagai keuntungan buat Nazaruddin jika dia tidak membongkar kasus yang melibatkan/diketahui olehnya.

Keuntungan yang dijanjikan atau diberikan bisa macam-macam, bisa keuntungan materi dan finansial, keringanan hukuman, kembali mendapatkan proyek, atau lain sebagainya. Cara ini juga sangat memberikan peluang untuk membuat Nazaruddin “diam”, apa sebabnya ?, salah satu yang membuat Nazaruddin melarikan diri jelas ia tidak ingin menikmati hotel prodeo, kalau saja ia bisa seperti Gayus yang dulu bisa jalan-jalan sampai ke Bali meskipun dipenjara, atau mungkin seperti Ayin yang ruang selnya bagaikan hotel bintang lima, why not buat Nazarudin untuk tidak membongkar kasusnya ?.

Diracun atau Dibunuh

Cara ini memang masih memungkinkan, tapi sepertinya kecil sekali kemungkinannya. Sebab terlalu beresiko dan biasanya tidak terlalu sulit bagi Kepolisian (jika polisinya bersungguh-sungguh) untuk menemukan pelakunya. Kemungkinan (seandainya) Nazaruddin diracun atau dibunuh belum tentu dilakukan oleh orang-orang yang menjadi korban “ocehannya”, bisa jadi dilakukan oleh orang-orang atau kelompok-kelompok yang tidak suka dan ingin mengkambinghitamkan Partai Demokrat atau rezim penguasa.

Tulisan ini tidak bermaksud mengajak para pembacanya untuk berpikir negatif terhadap proses hukum Nazaruddin, atau bersikap apatis terhadap kinerja para penegak hukum negeri ini. Ini tidak lebih merupakan gambaran pembelajaran atas proses hukum di berbagai kasus sebelumnya (khususnya kasus korupsi) yang tidak kunjung tuntas dan mencedrai perasaan masyarakat.

Mudah-mudahan saja opini prediksi ini salah total, artinya tidak ada upaya pembungkaman terhadap Nazaruddin, dan kasusnya bisa dibongkar, diproses, dihadapkan kepada kebenaran hukum hingga tuntas.

Amin… !

Filed Under: Hukum, Politik

Mengapa Saya Tidak Merokok ?

12 Agustus 2011 by Rosid

Seorang teman mengatakan bahwa setiap apa yang kita katakan dan lakukan harus mempunyai alasan, bahkan diampun harus ada alasannya. Dan mungkin untuk curhat sekaligus menuhin halaman blog ini, saya ingin menyampaikan satu alasan “kenapa saya tidak merokok ?”. Untuk yang keberatan dengan tulisan ini dan mungkin ingin berkata “yah… urus saja diri masing-masing”, sebelumnya saya juga ingin bilang kalau “urus saja diri masing-masing” berarti tulisan ini juga tidak perlu dibaca, abaikan saja. 😀

Disini saya tidak akan mengatakan kalau rokok itu haram, biarlah itu jadi domainnya MUI sebagai lembaga resmi ulama di Indonesia yang setiap keputusan fatwanya (insya Allah saya percaya) selalu berdasar kepada Al Qur’an, Hadist, dan Ijma. Selain karena hal tersebut, sepertinya memang pendapat halal-haram rokok cenderung lebih mengarah kepada perselisihan.

Disini juga saya tidak mengatakan kalau rokok merusak kesehatan, karena tidak saya katakanpun seorang anak TK saja sudah tahu kalau rokok itu merusak kesehatan. Intinya, hampir 99,99 % saya asumsikan bahwa masyarakat Indonesia dan dunia tahu bahwa rokok tidak baik untuk kesehatan.

Dan sepertinya saya juga tidak perlu mengatakan kalau “merokok adalah pemborosan dan perbuatan sia-sia”, karena sudah banyak jutaan orang yang mengatakan hal demikian dan sepertinya tidak memberikan efek apapun bagi para perokok. Selain itu juga saya yakin kalau yang tidak merokok juga tidak menjamin lebih hemat dari yang merokok, contohnya sederhana saja ; begitu mulut terasa pahit, seorang perokok cukup menyalakan satu batang rokok, berbeda dengan non-perokok yang biasanya lari ke jajan yang ongkosnya lebih mahal dari rokok, tapi efeknya memang lain dan itu sudah jadi resiko masing-masing, meskipun memang untuk yang merokok resikonya tidak ditanggung masing-masing.

Keluarga saya hampir semuanya perokok, mulai dari nenek, kakek, uwa (panggilan saudara tua dari orang tua di etnis Sunda), paman, bapak, kakak, adik, dan saudara-saudara dari uwa dan paman lainnya. Yang tidak merokok dikeluarga saya hanya ibu, kakak perempuan, saya, dan dua adik perempuan saya.

Semasa Sekolah Dasar, saya juga sempat berani coba-coba untuk merasakan sesaknya asap rokok, tapi masih untung saat itu hanya sebatas penasaran saja, selebihnya saya tidak tertarik lagi untuk kembali mencoba membenamkan asap tersebut kedalam paru-paru saya. Cukup sampai disitu dan tidak pernah kembali lagi sampai hari ini.

Diusia-usia tersebut sudah santer istilah “kalau merokok nanti saja kalau sudah bisa cari uang sendiri”, sempat teranalogikan dalam pikiran saya “nanti sajalah merokoknya kalau udah gede”.

Kelas 1 SMP, saya tinggal bersama bapak di Tangerang setelah sebelumnya sama ibu di Subang (mungkin Allah memang menghendai bapak dan ibu berpisah). Setelah tinggal bersama bapak, barulah saya merasakan betapa tidak nyamannya hidup disebuah kontrakan tiga petak yang masing-masing hanya berukuran 3 x 3 meter dengan diselimuti asap rokok. Protes sama bapak ?, tentu itu tidak mungkin, karena bagaimanapun ada etika yang harus tetap saya jaga. Jangankan protes, untuk bicara baik-baik saja saya ragu dan segannya minta ampun, padahal saya bisa dibilang akrab banget sama bapak.

Sampai disatu waktu saya cari tahu sebanyak-banyak tentang keburukan rokok, minimal untuk memperkuat mental saya supaya tidak merokok dan harapan besarnya memang mudah-mudahan bisa menemukan ide untuk mengingatkan bapak dengan cara yang terbaik dan sesopan mungkin. Beranjak dari mencari tahu tentang rokok terus bergeser ke bahaya seks bebas yang berujung pada penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Pergeseran pencaritahuan tersebut akhirnya mengarahkan saya pada satu kesimpulan :

“Kalau saya berdekatan, bergandengan atau bertatapan atau bahkan menyaksikan sepasang manusia sedang berhubungan seks dan saling menularkan HIV-AIDS diantara keduanya, saya tidak akan tertular oleh penyakit tersebut. Tetapi, manakala saya seorang perokok, dan ketika sedang santainya saya merokok kemudian ada seorang teman, sahabat, anak atau sipapaun yang dekat dengan saya, maka saya telah menularkan penyakitnya.”

Cukup lama saya renungkan kesimpulan tersebut, saya ragukan kesimpulan tersebut supaya saya mencari kesalahan dari kesimpulan tersebut, tapi semakin lama saya mencari kesalahannya malah semakin banyak saya menemukan kebenarannya. Artinya, saya memang harus yakin kalau kesimpulan tersebut benar adanya. Dan itu semakin menguatkan saya untuk tidak menjadi seorang perokok.

Kesimpulan tersebut ibarat ide segar. Akhirnya  saya tulis dengan rapi di satu kertas HVS (kebetulan masa-masa itu saya sedang hobi-hobinya menggambar dan mebuat kaligrafi), kemudian saya tempel di dinding kontrakan yang memang sebelumnya dinding tersebut sudah hampir penuh dengan aneka coretan saya diatas kertas dan kanvas.

Entah bapak membaca itu atau tidak, yang pasti satu hari semenjak tulisan itu ditempel bapak tidak pernah lagi merokok dihadapan saya, tidak hanya itu, menyuruh saya membelikannya rokokpun tidak pernah. Sampai terbersit dalam benak saya “mungkinkan bapak sedang berjuang keras melawan kebiasaan merokoknya ?”. Saya juga sempat tidak enak hati, tapi saya harus melakukan itu, dan alhamdulillah dari segi komunikasi antara saya dan bapak tidak ada perubahan, perubahannya cuma satu, setiap bapak dekat saya diantara jari tengah dan telunjuknya tidak ada lagi batang rokok.

Pada saat saya duduk di bangku SMA, bapak mengajak saya untuk pulang kembali ke kampung, tapi saya enggan dan lebih memilih tinggal disekolah untuk melanjutkan sekolah. Berat memang bagi bapak untuk meninggalkan saya begitu saja, tapi nampaknya ego keras saya tidak bisa bapak patahkan. Tahun 2008 Allah memanggil bapak pulang keharibaan-Nya diusia 63 tahun, usia yang belum begitu tua memang. Satu kejadian sempat meneteskan airmata saya, ketika saya merapihkan pakaian almarhum bapak dilemarinya, saya menemukan tulisan yang saya pasang didinding kontrakan dulu, di bagian bawahnya bapak menambahkan tulisan :

“Kalau kamu sayang sama istrimu, kemudian istrimu juga sayang padamu, apa perasaanmu ?, bahagia ya tentunya. Tapi kalau istrimu yang sangat kau sayangi itu menghancurkan sebungkus rokokmu yang baru saja dibeli hanya karena ia tidak ingin paru-parumu dirusak oleh rokok-rokok tersebut, lalu sepeti apa juga perasaanmu ?, masih merasa bahagiakah ?, kalau kamu marah berarti akal sehatmu tidak berfungsi.”

Selesai baca tulisan tersebut, ibu tiri saya bilang : “semenjak balik kampung bapak wis ora rokok maning”.

Pepatah mengatakan “sosok terdekat yang wajib kita ambil hikmah dan pelajarannya selain diri kita adalah orang tua kita”, mudah-mudahan saya bisa mengambil hikmah dan pelajaran baik dari hal yang baik maupun yang buruk, minimal dari diri sendiri, orang tua, dan keluarga.

 

Filed Under: Catatan Kaki

Topi Bambu di Rekor MURI (Meretas Jalan Pelestarian)

11 Agustus 2011 by Rosid

Minggu, 7 Agustus 2011, bisa dibilang hari yang sangat bersejarah dan membanggakan untuk Kabupaten Tangerang. Dimana simbol kebanggan tradisi dan budaya yang menjadi identitas masyarakat Tangerang  berhasil menembus rekor baru, yaitu Topi Bambu Terbesar di Indonesia dan bahkan dunia yang dianugerahi oleh Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI). Untuk rekor dunia, Topi Bambu Terbesar ini mengalahkan rekor topi terbesar didunia yang sudah ada, yaitu Topi Sombrero berukuran 75 cm dari Meksiko.

Dirjen Pemasaran Kemenbudpar Sapta Nirwandar menggunakan topi bambu terbesar di dunia di Jakarta Convention Centre (JCC), Minggu (7/8/2011) (Photo by Kompas)
Dirjen Pemasaran Kemenbudpar Sapta Nirwandar menggunakan topi bambu terbesar di dunia di Jakarta Convention Centre (JCC), Minggu (7/8/2011) (Photo by Kompas)

Rekor yang ditorehkanpun tentunya tidak lantas membuat jumawa para penggagas Topi Bambu Terbesar tersebut yang tergabung di Komunitas Topi Bambu, karena ide tersebut justru merupakan salah satu awal dari proses yang harus dilalui untuk mewujudkan cita-cita dari Komunitas Topi Bambu. Ide pembuatan Topi Bambu Terbesar itu sendiri tidak terlepas dari beberapa segi konsentrasi Komunitas Topi Bambu, yaitu Budaya, Edukasi, dan Ekonomi.

Dari segi Budaya, terus berusaha melestarikan kerajinan Topi Bambu sebagai identitas kekayaan intelektual asli masyarakat Tangerang yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Ditengah gempuran budaya impor sudah selayaknya ada sekumpulan orang yang menunjukan kepudiliannya terhadap budaya lokal, sehingga masyarakat Tangerang punya identitas asli sebagai jati diri daerahnya.

Dari segi Edukasi, berupaya memberikan nilai wawasan dan pengetahuan tentang Topi Bambu khususnya dan tradisi budaya Tangerang umumnya. Akan sangat terasa aneh kalau generasi muda yang berasal atau tinggal di Tangerang tidak mengetahui ciri khas dari Tangerang itu sendiri. Edukasinya sendiri terbagi kedalam dua jenis. Yang Pertama, edukasi wawasan tentang hal-ihwal Topi Bambu, dan yang Kedua, edukasi bagaimana cara membuat Topi Bambu atau yang disebut dengan pewarisan tradisi.

Dari segi Ekonomi, berusahan untuk melakukan inovasi terhadap desain dan model kerajian Topi Bambu tanpa merubah unsur-unsur pokoknya, sekaligus mempromosikannya ke khalayak ramai. Dengan adanya upaya inovasi desain dan model, diharapkan dapat menambah nilai modis dan estetis dari Topi Bambu itu sendiri, sehingga bisa mengimbangi perkembangan zaman dan orang bisa merasa bangga saat mengenakannya baik dalam acara tentu ataupun acara sehari-hari. Upaya inovasi dan promosi tidak lain merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan nilai pemasukan finasial bagi para pengrajin Topi Bambu itu sendiri yang jumlahnya puluhan ribu di seantero Tangerang, dengan harapan bisa lebih menyejahterakan.

Penyerahan Rekor MURI oleh Istri Menbudpar (Jero Wacik) Triesna Wacik didampingi oleh Jaya Suprana dan disaksikan langsung Kepala Disperindag Kab. Tangerang, Syaffrudin
Penyerahan Sertifikat Rekor MURI oleh Istri Menbudpar (Jero Wacik), Triesna Wacik didampingi oleh Jaya Suprana dan disaksikan langsung Kepala Disperindag Kab. Tangerang, Syaffrudin

Diakuinya Topi Bambu berukuran 2 meter dengan bobot berat lebih dari 2 kg sebagai sebuah Topi atau Topi Bambu terbesar di Indonesia yang turut diberitakan oleh berbagai media baik digital maupun cetak yang antara lain :

  • Kompas : Wow, Topi Terbesar Ada di Tangerang!
  • Kantor Berita Antara : Topi Bambu 2 Meter Cetak Rekor MURI
  • Okezone : Topi Bambu di Pameran Kridaya Pecahkan Rekor MURI
  • Media Indonesia : Topi Bambu Dua Meter Catat Rekor MURI
  • Kabar Banten : Topi Bambu Tangerang Cetak Rekor MURI
  • Satu Borneo : Tangerang Lahirkan Topi Bambu Terbesar Di Dunia
  • Indonesia Headline : Wow ! Giant Bamboo Hats Made in Tangerang

dan berbagai media lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang terus terang telah membentangkan retasan jalan optimis bagi Komunitas Topi Bambu dan para pengrajin yang ada dialam komunitas tersebut, bahwa kerjasama berbagai pihak, Topi Bambu yang merupakan masterpice asli Kabupaten Tangerang  Insya Allah bisa kembali berjaya.

Filed Under: Ekonomi, Sejarah

  • Page 1
  • Page 2
  • Next Page »

© 2019 · Rosid · Built on the WordPress