• Skip to primary navigation
  • Skip to content

ROSID

Blog Inspiratif

  • Beranda
  • Blog
  • Arsip
  • Disklaimer

Hukum Pincang, Indonesia Gagal Berdiri di Kaki Sendiri

7 Januari 2014 by Rosid

Pernah tidak mendengar ungkapan “serahkan semuanya pada mekanisme hukum” ? saya yakin hampir semua orang pernah mendengar kalimat tersebut. Sebuah kalimat yang menyugesti kita untuk percaya bahwa hidup kita terikat oleh hukum di sebuah negara yang (seolah) berkeadilan.

Percayakan saja, mekanisme hukum akan menunjukan konsekuensi sebab–akibat yang bijak. Kurang lebih demikian.

Mempercayakan proses atas tindak pelanggaran atau kejahatan kepada mekanisme hukum di mana para penegak hukum (polisi, jaksa, pengacara, hakim, dan sebagainya) sebagai ahli mekanisnya, kurang lebih sama halnya dengan mempercayakan sebuah barang yang sangat berharga untuk dititipkan di tempat penitipan barang. Apa yang membuat kita yakin semuanya akan baik-baik saja dan berjalan sesuai prosedur ? ya, kepercayaan.

Ketika kita didorong untuk menyerahkan  persoalan hukum pada mekanisme hukum, maka apa yang terjadi jika ahli mekanisnya sudah tidak bisa lagi dipercaya ?. Sama halnya dengan menitipkan barang tapi penjaga penitipannya ternyata maling. Sulit, sangat sulit untuk percaya apalagi yakin bahwa semuanya akan berjalan sesuai prosedur dan berkeadilan.

Pagi ini (Selasa, 7/1/2014) saya membaca sebuah berita yang menambah catatan panjang rekayasa hukum, dimana seseorang yang tidak bersalah dipaksa bersalah. Mahkamah Agung (MA) membongkar rekayasa narkoba oleh polisi terhadap Rudy Santoso (41) dan Ket San (21). Ini mengerikan !

Saya jadi ingat pepatah yang mengatakan “lebih baik melepaskan 10 orang yang bersalah, ketimbang menghukum 1 orang yang tidak bersalah”.

Pepatah tersebut memang tidak bisa dibenarkan sepenuhnya, tapi kita bisa menarik pesan moral betapa kejam dan kejinya ketika orang yang tidak bersalah harus dihukum atas kejahatan yang tidak dilakukannya atau kejahatan yang diada-adakan ?

Jika saya simak modus dari rekayasa tersebut yang diberitakan oleh detik.com  (Ini Modus Rekayasa Penyidik Kasus Narkotika yang Jerat Ket San dan Rudy) tambah memprihatinkan lagi. Sedikitnya ada dua unsur yang melatari rekayasa tersebut, yaitu pemerasan dan memenuhi target penanganan kasus di setiap satuan atau unit kerja. Jika ini benar, betapa gilanya hukum di negara kita.

Kenapa saya katakan gila ? karena siapapun bisa dicokok sewaktu-waktu tanpa alasan yang kuat. Kapanpun kita bisa menjadi korban rekayasa tersebut.

Belum lagi harus melalui proses penyidikan yang menyakitkan, proses hukum yang panjang dan menyesakan, berhimpitan di dalam tahanan dengan segala keankerannya. Orang yang benar-benar bersalah saja bisa terguncang mentalnya, apalagai yang tidak ?

Kalau saja itu benar rekayasa, saya berharap para perekayasanya mendapatkan sanksi berat. Tapi, rasanya tidak mungkin, karena dengan tegas Karopenmas Polri Brigjen Polisi Boy Rafli Amar menyatakan tidak akan memberikan saksi apa pun kepada anggota polri karena seluruh proses sudah sesuai prosedur.

Saya jadi bingung mana yang benar, MA dengan putusan akhirnya yang mengungkapkan adanya rekayasa atau Polri dengan hasil penyidikannya. Tapi saya yakin, bahwa salah satunya pasti keliru.

Terlepas dari siapa yang benar, yang jelas ada yang salah pada penegak hukum di negara kita. Banyak yang bersalah tapi lepas dari jeratan hukum. Ada juga yang tidak bersalah tapi diketuk palu bersalah.

Hukum yang pincang
Ilsutrasi (sumber gambar pra-edit : http://familybusinessinstitute.com)

Bersamaan dengan berita adanya rekayasa kasus narkoba yang dilakukan oleh penyidik Polri. Muncul berita putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terhadap Indar Atmanto, eks Dirut Indosat Mega Media (IM2).

Kasus ini mungkin tidak begitu menarik perhatian masyarakat. Maklum, kasusnya lumayan rumit dan tidak mudah dipahami. Tapi kalau kita mau sedikit kepo, sebetulnya ada ancaman serius terhadap sesuatu yang sudah seperti menjadi kebutuhan dasar sehari-sehari kita. Yaitu, layanan internet.

Awalnya saya tidak begitu tertarik mengikuti perkembangan kasus ini, tapi karena menyangkut nafas 280 internet service provider (ISP) yang bisa berdampak pada “dapur” saya, akhirnya saya coba simak perkembangannya.

Kasus yang menjerat Indar Atmanto sendiri awalnya berbau modus pemerasan. Hingga si pemeras (inisal DAK) berhasil ditangkap lalu dimasukan ke kerangkeng. Yang lucu, sudah jelas-jelas kasus tersebut  pemerasan semata, tapi kasusnya terus dipaksa dikatrol ke meja hijau oleh jaksa yang bermaslah (baca JK : Jaksa Kasus Indosat – IM2 Bermasalah ).

Bau rekayasa begitu kuat di kasus ini. Apalagi kalau melihat kejanggal-kejanggalannya, sampai putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pun malah makin menampakan kejanggalan ( Tempo : Putusan Banding atas Indar Atmanto Indosat Janggal).

Awal saya respek dengan kasus ini karena urusan dapur semata. Ya, mata pencaharian saya sangat membutuhkan koneksi internet. Sementara jika klimaks pada kasus IM2 atau Indar Atmanto ini divonis (paksa) bersalah, maka akan ada 280 ISP yang siap-siap jadi sasaran tembak gugatan tanpa dasar. Bisa dipastikan, 280 ISP itu akan kalah dan gulung tikar, karena pola bisnisnya sama dengan IM2 yang oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dipastikan sudah sesuai dengan regulasi yang dibuat Kemenkominfo (lalu dinyatakan tidak sesuai dengan regulasi oleh Jaksa dan hakim. Aneh bukan ?). Kini, saya respek dengan kasus ini bukan lagi karena sekedar urusan dapur semata, tapi soal nurani atas hukum yang dipelintir oleh orang-orang yang lalai terhadap firman Allah :

[quote style=”3″]Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” QS Al-Maaidah:8 [/quote]

Ya, ada kebathilan yang mengancam hak seseorang (dan keluarganya) atas keadilan yang seharusnya bisa ia nikmati sebagai warga yang terikat oleh hukum di negara yang dicintainya.

Semoga hukum di Indonesia yang sedang sakit ini bisa benar-benar sembuh. Sebelum benar-benar menjadi negeri yang tuna daksa (baca : pincang). Karena tegaknya hukum adalah tegaknya bangsa ini berdiri. Kalau negeri kita sudah tuna daksa, tak’kan kokoh ia berdiri di kaki sendiri (berdikari).

Filed Under: Hukum

Ketika Media Semakin Tidak Berimbang Soal FPI

14 Februari 2012 by Rosid

Seperti sebuah gerakan dengan satu komando, dalam hitungan jam media-media masa baik yang mainstream maupun yang lagi merangkak ramai-rama gencar memberitakan tentang pembubaran Front Pembela Islam (FPI).

Sebelum menyampaikan tulisan ini, saya ingin menyampaikan satu hal yang harus digaris bawahi oleh para pembaca. Bahwa, saya tidak sedang membela FPI maupun menyerang media. Saya hanya ingin menyampaikan rasa ketidakpuasan saya terhadap media, khususnya media-media besar yang cenderung tidak independen dan berimbang dalam menyampaikan berita.

Disadari atau tidak media memberikan pengaruh terhadap pesan moral, wawasan, dan sudut pandang Masyarakat. Namun sepertinya seolah ada pemanfaatan untuk pengaruh yang terakhir saya sebutkan.

Medianya tidak fair, FPI di bombardir secara sepihak untuk mengarahkan dan menggerakan pada satu opini yang negatif. Masyarakat sama sekali tidak akan pernah melihat satu sisi positifnya (yang menurut mereka itu memang tidak ada) karena terus dijejali oleh pemberitaan yang tidak berimbang.  Pemberitaan yang pesan kebencianya  melebihi apa yang dituduhan kalau FPI penyebar kebencian dan kekerasaan.

Pendapat-pendapat para tokoh yang dikutip-pun adalah pendapat tokoh-tokoh yang cenderung memang tidak suka dengan adanya FPI, terlepas itu terkait dengan masalah kekerasan atau bukan. Yang lebih lucu lagi ketika pendapat sang tokoh tersebut dikutip sepotong-sepotong. Kutipan tersebut cenderung lebih mengarahkan masyarakat untuk semakin membenci FPI. Kenapa tidak dimintai pendapat tokoh netral dan pendapatnya tidak membuat  masyarakat tergerak untuk konflik horisontal ?.

Kalau terjadi konflik horisontal dengan korban yang tidak sedikit lalu siapa yang salah, FPI kah sebagai subjek yang disorot hanya sisi negatifnya ?, Media kah yang mengaduk-ngaduk semuanya menjadi riuh ?, atau tokoh yang pendapat negatifnya dikutif oleh media ?.

Berbicara Kekerasan

Hal yang paling dijadikan alasan keinginan untuk membubarkan FPI adalah isu kekerasan. Kekerasan mana yang begitu membuat FPI terkesan lebih seram dari kelompok-kelompok yang berebut lahan parkiran ?.

Seharusnya kalau media mau menghiperbolakan isu pembubaran ormas yang identik dengan kekerasan maka bukan hanya FPI yang harus dibubarkan, dan bukan hanya FPI yang jadi bulan-bulanan media. Ada ribuan ormas yang harus “digulung”, yang lebih keras dan mungki bagi Anda sebetulnya lebih meresahkan  dibanding FPI. Tapi itu tidak pernah diangkat, entah karena apa alasannya.

Kalau FPI kisruh maka dalam beritanya nama “FPI” disebutkan dengan jelas dan di tulisan dengan kontras. Tapi kalau ada ormas lain yang “murni premanisme” rusuh, media hanya menyebut “Sebuah Ormas” dalam pemberitaanya, cenderung enggan menyebutkan nama ormasnya. Why ?

Headline beritanya “Pembubaran Ormas-ormas Anarkis”, tapi kontennya FPI semua. Sedangkan setahu saya kalau sudah ada pengulangan kata subjek, itu artinya sudah lebih dari satu (majemuk). Lalu siapa saja ormas-ormas tersebut ?, kenapa Cuma FPI yang di ekspos ?.

Berapa banyak sih jiwa  yang menjadi korban FPI ?. Lalu bandingkan berapa banyak korban narkoba dan miras yang sekali ngefek bisa menyebabkan belasan orang tewas seketika ?. Kenapa begitu banyak tempat hiburan yang menjadi basis penghancuran generasi bangsa, yang lebih mengancam kehadirannya dibanding FPI Anda diam saja ?, sementara FPI berusaha membersihkan sampah-sampah tersebut dengan caranya sendiri pemberitaan miringnya begitu luar biasa. Anda punya cara yang lebih sederhana dan efektif ?. Lakukanlah itu.

Lalu apa yang sebenernya Anda bela ?. Generasi bangsa atau kepentingan-kepentingan kelompok tertentu yang tidak peduli tentang hari esok negeri ini, yang penting mereka untung, dan mereka merasa kehadirannya terganggu oleh FPI ?

Adanya FPI bukan tanpa sebab, begitupun dengan kekerasan yang dilakukan oleh FPI saat menggeruduk tempat-tempat maksiat. Tidak kah Anda khawatir kalau kelak anak-anak Anda menjadi bagian dari lingkaran kemaksiatan ?, Apakah Anda ingin setelah meninggal maka anak Anda tidak pernah mendoakan Anda karena anak Anda sedang sibuk maksiat di tempat maksiat ?. Lalu alasan apa yang harus memperbolehkan kita akan adanya tempat maksiat ?.

FPI tidak akan ada kalau tidak ada yang mengharuskan FPI ada, ditambah lagi ketika para abdi negara ini tidak mampu menjadi abdi yang amanah dan bertanggungjawab.

Ketika terjadi demo-demo anarkis di depan gedung MPR/DPR, yang jadi korban kerusakan adalah fasilitas gedung seperti pagar, gerbang, dan lain sebagainya yang tidak lain dibangun dari uang rakyat, tapi tidak ada yang teriak-teriak menganggap itu meresahkan dan merugikan. Padahal nantinya uang rakyat lagi yang digunakan untuk memperbaikinya. Okey, mungkin itu karena dianggap “dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat”.

Tapi kemudian ketika FPI merusak tempat-tempat maksiat yang TIDAK DIBANGUN dari uang rakyat, sepertinya begitu banyak orang-orang yang menganggap itu sebagai sesuatu yang meresahkan. Resahnya seperti melebihi uang rakyat yang terus dikuras. Siapa sih sebenranya yang Anda bela ?, masyarakat atau yang punya tempat maksiat ?.

Atau jangan-jangan media-media sendiri merasa terancam eksistensi “kapitalis dan liberalisme”  bisnisnya sehingga sampai harus meletakan dasar-dasar jurnalisme yang semestinya independen dan berimbang, bukan mengarahkan masyarakat pada satu pendapat kepentingan.

Tidak Adakah Satu Kebaikanpun ?

26 Desember 2004, Bumi Nangroe dihempas tsunami dan gempa bumi 9,3 SR. Hampir 130 ribu jiwa masyarakat Aceh yang meninggal dunia. Mengingat banyaknya korban jiwa, jenajahpun dimakamkan secara masal kedalam liang lahat yang sama. Di beberapa proses pemakaman, nyaris tidak seperti pemakaman layaknya manusia yang meninggal. Bisa dimaklumi memang, karena kondisi yang kurang memungkinkan, dan Agamapun memaklumi itu.

Tapi ada beberapa kelompok relawan yang berusaha “memanusiakan” jenajah-jenajah tersebut. Tidak hanya sekedar membantu pencarian jenajah, tapi jenajahnya pun dimandikan, dibersihkan, dikafani, dan bahkan disholatkan. Salah satunya adalah tim relawan FPI.

Tanpa rasa jiijik ataupun kekhawatiran timbulnya penyakit akibat terkena kulit jenajah yang mengelupas, dengan sigap mereka lindungi hak-hak manusia meskipun sudah tinggal raga.

Sobat-sobat tidak tahu tentang ini ?

Wajar saja, karena media-medianya memang begitu benci terhadap FPI, dan sudah barang tentu enggan memberitakan sisi hal ini.

Lalu kenapa FPI nya sendiri tidak menyebar luaskan aktivitas ini ?

Kalau sudah Lillahita’ala, mungkin publikasi tidak lagi penting. Kalaupun FPI melakukan publikasi sudah pasti gaungnya tidak ada selantang suara media.

Mungkin ada yang ingin mengatakan “siapa sih sebenarnya media-media tersebut ?”. Tidak perlulah Anda mempertanyakan hal itu, kecuali kalau Anda ingin menjebak saya dalam pusara hukum yang sudah berada di pihak yang sudah bisa ditebak.

Yang lucu laginya begini, media-media tersebut berkedok independen dan berimbang, bahkan sangat melarang hal-hal yang berbau SARA. Tapiiiiii……, mereka begitu bersemangat kalau memberitakan hal-hal yang bebau perselishan SARA, selanjutnya membiarkan para pembacanya berselisih, berdebat, dan bertengkar di kolom komentar beritanya tanpa moderasi.  Media macam apa ini kalau hanya menjadi fasilitator konflik dibanding pemersatu ?. Terus dengan seenaknya bilang “Itu Diluar Tanggung Jawab Kami”.

Kontradiksi Antara Kebenaran Hakikat dan Kebenaran Prosedural (Disarikan dari EraMuslim)

Dari beberapa konten media, saya berasumsi kalau mediapun memiliki banyak kepentingan. Entah itu ideologi, politik, ekonomi, ataupun bisnis dan lain sebagainya. Perlu diketahui juga bahwa karakter awak media akan sangat mempengaruhi karakteristik wajah media tersebut. Sederhananya, kalau kita melihat “siapa orang dibalik layarnya ?”, maka terbayang sudah akan seperti apa sudut pandang media masanya.

Kalau menurut Eramuslim :

“Seorang muslimkah dia, liberal, agnostik, kejawen dan sebagainya, akan mempengaruhi berita-berita yang disuguhkan.

Pembaca pun hanya menjadi penonton, yang jika tidak hati-hati dan cerdas, akan terhanyut dan terombang-ambing dalam pusaran informasi yang begitu deras dan terbuka. Independensi media massa pun dipertanyakan”

Jika kita melihat sisi hakikat yang dilakukan FPI, maka kebenaran yang diusung tidak terbantahkan. Misalnya begini, Anda atau Saya pasti akan setuju kalau minuman keras, prostitusi, perjudian dan sejenisnya adalah hal-hal yang merugikan dan tidak bermanfaat. Lebih banyak kerugiannya daripada manfaatnya. Tidak perlu lah sampai ditanya berapa banyak bukti kehancuran akibat perbuatan-perbuatan tersebut. Kecuali bagi penganut adanya “kebenaran relatif”, sudah barang tentu hal-hal tersebut tidak berlaku.

Apa yang dilakukan FPI secara hakikat adalah benar, karena mereka berusaha menghilangkan penyakit sosial masyarakat yang sudah endemik. Kekerasan yang mereka lakukan biasanya menjadi pilihan terakhir, karena adanya kelompok penentang. Pun hingga saat ini, kekerasan itu tidak sampai menimbulkan korban jiwa.

Bandingkan dengan kekerasan di daerah, misalnya Ambon, Poso, Bima, Makassar dan lainnya sebagainya, yang menyebabkan korban meninggal dunia. Kebenaran hakikat yang diyakini FPI bertabrakan dengan kebenaran prosedural yang ditetapkan dalam kehidupan masyarakat.

Ambil contoh kasus Perda Miras yang ramai beberapa waktu lalu. Kementerian Dalam Negeri berdalih Perda-perda Miras bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 3 tahun 1997. Oleh sebab itu, muncul wacana pencabutan Perda-perda tersebut.

Secara prosedural perundang-undangan, upaya Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi benar untuk mencabut Perda-perda tersebut. Tapi, secara hakikat, dia akan bertabrakan dengan kebenaran hakikat tadi yang tidak bisa terbantahkan.

Inilah contoh kasus yang menyebabkan lahirnya kelompok-kelompok seperti FPI. Selama kebenaran prosedural tidak berdasarkan kebenaran hakikat, maka akan selalu lahir generasi serupa. Dan, bagi mereka yang sungguh-sunggu memerangi FPI dikhawatirkan terjangkit penyakit Islamophobia yang wabahnya sudah mendunia, dan itu tidak terlepas dari tindak-tanduknya media.

Open your mindset, open your eyes !.

Mungkin akan ada yang merasa tidak suka dengan tulisan ini. Itu sah-sah saja dan wajar tentunya. Sewajar saya yang merasa kalau media semakin tidak berimbang  tentunya. Media punya hak memberitakan, organisasi punya hak untuk dibentuk, dan sayapun punya hak untuk berpendapat. Terlepas dari Anda sukai ataupun tidak. Selebihnya, saya mengucapkan mohon maaf kalau ada kekeliruan dalam opini saya ini, dan juga mohon maaf kepada yang mungkin merasa dirugikan.

Sekali lagi saya tidak sedang membela FPI, karena saya juga tahu kalau kedamaian itu lebih baik dari kekerasan. Saya hanya berharap mudah-mudahan media bisa lebih berimbang dalam menyajikan pemberitaan.

Filed Under: Hukum, Politik

Prediksi Cara Pembungkaman Nazaruddin

15 Agustus 2011 by Rosid

Nazaruddin Tiba Di KPK (VIVAnews/Fernando Randy)
Nazaruddin Tiba Di KPK (VIVAnews/Fernando Randy)

Baru-baru ini kita semua tahu, kehebohan melanda seantero persada nusantara saat dan setelah ditangkapnya M. Nazaruddin, mantan bendahara Partai Demokrat yang menjadi tersangka kasus korupsi Wisma Atle SEA Games di Palembang. “Kicauan-kicauannya” dari tanah pelarian sempat membuat gerah orang-orang yang disebutkan olehnya, seperti misalnya saat Edhie Baskoro Yudhoyono mengatakan “Nazaruddin itu politikus bukan penyanyi, dan nyanyian-nyanyiannya tidak enak didengar”.

Setelah Nazaruddin tertangkap, situasi jadi serba “tiarap”. Berbagai pertanyaan dan harapan hinggap di banyak kepala, pertanyaan atas mungkinkah Nazaruddin akan mengungkapkan semuanya selantang kicauannya di tanah pelarian ?, dan harapan akan adanya upaya bersih-bersih secara besar-besaran dimana Nazaruddin bisa berperan sebagai “whistle blower”.

Ditengah berbagai pertanyaan dan harapan tersebut, nampaknya rasa ragu dan ketidakyakinan kalau kasus yang melibatkan Nazaruddin bisa diusut, dibongkar dan diselesaikan dihadapan hukum yang pasti secara tuntas. Hal ini bukan tanpa alasan, karena sudah ada contoh kasus sebelumnya yang timbul – tenggelam – timbul – tenggelam – dan tidak timbul lagi, seperti kasus Bank Century, kasus Dirjen Pajak yang melibatkan Gayus Tambunan, kasus Dugaan Suap Pemilihan Deputi Gubernur BI, kasus pembunuhan Munir, dan berbagai kasus lainnya.

Melihat banyaknya orang-orang yang disebutkan oleh Nazaruddin di pelarian yang dikuatkan oleh pernyataan para mantan pekerjanya, muncul dugaan dimasyarakat kalau Nazarudin akan dibungkam supaya tidak membongkar kebobrokan dinegeri ini yang sedikit banyaknya melibatkan/diketahui olehnya.  Dan kalau memang itu terjadi (naudzubillah, mudah-mudahan tidak ada yang sampai sekeji itu ya), kurang lebih ada 3 (tiga) kemungkinan cara untuk membungkan Nazarudin supaya tidak “ngoceh”, antara lain ;

Pencucian Otak dan Ancaman

Ini dianggap cara yang paling memungkinkan, sebab ini merupakan cara yang bisa dibilang halus dan metafisik. Yang “dihajar” langsung mental dan pikirannya. Kita tidak perlu dulu membayangkan dengan cara “black magic” atau lain sejenisnya, cara yang paling sederhana adalah dengan memberikan kondisi lingkungan dan waktu yang membuat Nazarudin tidak nyaman, tertekan, dan klimaksnya membuat dia defresi dan stres.

Masih ingat dengan kasus pencucian otak yang dilakukan oleh NII ?, cara tersebut bukan tidak mungkin juga bisa dilakukan pada Nazaruddin. Pengkondisian yang terus menerus membuat tegang saraf dan meningkatnya tekanan darah akan sangat mempengaruhi cara berpikir seseorang dan fatalnya bisa mempengaruhi juga daya ingat yang berujung pada alzheimer atau bahkan lupa ingatan. Kalau sudah lupa ingatan atau minimal punya penyakit lupa akut, maka tidak akan ada lagi yang bisa diungkapkan oleh Nazaruddin.

Selain dengan cuci otak, bisa juga dengan ancaman mengenai keselamatan keluarganya. Sedikit banyaknya ancaman tersebut juga kembali akan mempengaruhi kondisi mental dan pikiran Nazaruddin. Meskipun ancaman tersebut belum tentu benar dilakukan, setidaknya sudah memberi tekanan psikologis bagi dia.

Dijanjikan dan Diberikan Keuntungan

Ini mengingatkan kita kembali kepada Gayus Tambunan, dipenjara di tahanan paling “strength” tapi bisa jalan-jalan sampai ke Bali. Bukan tidak mungkin juga kalau ada yang mau membungkam Nazaruddin dengan menjanjikan dan/atau memberikan berbagai keuntungan buat Nazaruddin jika dia tidak membongkar kasus yang melibatkan/diketahui olehnya.

Keuntungan yang dijanjikan atau diberikan bisa macam-macam, bisa keuntungan materi dan finansial, keringanan hukuman, kembali mendapatkan proyek, atau lain sebagainya. Cara ini juga sangat memberikan peluang untuk membuat Nazaruddin “diam”, apa sebabnya ?, salah satu yang membuat Nazaruddin melarikan diri jelas ia tidak ingin menikmati hotel prodeo, kalau saja ia bisa seperti Gayus yang dulu bisa jalan-jalan sampai ke Bali meskipun dipenjara, atau mungkin seperti Ayin yang ruang selnya bagaikan hotel bintang lima, why not buat Nazarudin untuk tidak membongkar kasusnya ?.

Diracun atau Dibunuh

Cara ini memang masih memungkinkan, tapi sepertinya kecil sekali kemungkinannya. Sebab terlalu beresiko dan biasanya tidak terlalu sulit bagi Kepolisian (jika polisinya bersungguh-sungguh) untuk menemukan pelakunya. Kemungkinan (seandainya) Nazaruddin diracun atau dibunuh belum tentu dilakukan oleh orang-orang yang menjadi korban “ocehannya”, bisa jadi dilakukan oleh orang-orang atau kelompok-kelompok yang tidak suka dan ingin mengkambinghitamkan Partai Demokrat atau rezim penguasa.

Tulisan ini tidak bermaksud mengajak para pembacanya untuk berpikir negatif terhadap proses hukum Nazaruddin, atau bersikap apatis terhadap kinerja para penegak hukum negeri ini. Ini tidak lebih merupakan gambaran pembelajaran atas proses hukum di berbagai kasus sebelumnya (khususnya kasus korupsi) yang tidak kunjung tuntas dan mencedrai perasaan masyarakat.

Mudah-mudahan saja opini prediksi ini salah total, artinya tidak ada upaya pembungkaman terhadap Nazaruddin, dan kasusnya bisa dibongkar, diproses, dihadapkan kepada kebenaran hukum hingga tuntas.

Amin… !

Filed Under: Hukum, Politik

Seandainya Golput Dihitung “Sah”

18 Juni 2011 by Rosid

golput adalah sahBanyak deskripsi tentang golongan putih atau golput. Meskipun banyak deskripsi tentang golput, tapi jarang ada penjelasan detil tentang golput, entah penjelasannya yang belum sampai ke mata dan pikran saya atau mungkin sayanya yg kurang serius mencari penjelasan tentang golput. Percaya atau tidak, sampai opini ini saya tulis di wikipedia sendiri belum ada ulasan tentang “Golput”.

Kalau ada yg berpendapat ; “Golput adalah orang-orang yang tidak menentukan pilihan pada Pemilihan Umum, Pilkada dan lain  sejenisnya”. Saya sangat tidak setuju. Boleh dong kita berbeda pendapat ?, yang penting kan tidak gondok-gondokan dan kelaperan. Heheheheee…

Saya lebih setuju kalau golput diartikan sebagai orang-orang yang memilih untuk tidak memilih pilihan yang ada. Jelas berbeda kan dengan pendapat diatas ?. Itu artinya golput juga merupakan pilihan dan hak setiap orang. Ada beberapa kalimat yang ujug-ujug muncul dipikiran saya :

Kalau kita diwajibkan (mau tidak mau) untuk memilih calon yang ada, itu artinya demokrasi memaksa dong ?. Paling tidak memaksa rakyatnya untuk memilih dari sekian banyok calon pemimpin yang oleh sebagian orang dianggap tidak layak. Lalu dimana letak kemerdekaannya dari demokrasi ?.

Sebagai negara yang mengadopsi faham demokrasi, semua warga negara punya hak yang sama (katanya), demikian juga dalam menentukan pilihan pada pemilu. Bebas memilih calon nomor 1, 2, dan lain sebagainya yang jumlahnya seabrek, harusnya bebas juga untuk memilih calon yang ada atau tidak tidak memilih calon yang ada.

 

Para Pendukung Golput di Pemilu 2009
Para Pendukung Golput di Pemilu 2009 (ureport.vivanews.com)

Andaikata golput dianggap sah sebagai “suara” rakyat bagaimana ?. Oke, rasanya itu tidak mungkin. Tapi perlu diketahui bahwa banyak juga orang yang golput dengan dasar ideologi yang kuat. Baik ideologi yang bertolak belakang dengan demokrasi itu sendiri maupun yang sangat menjunjung faham demokrasi. Dan inilah yang disebut “Golput tapi berpolitik”. Banyak hal memang yang meyebabkan setiap orang untuk memilih atau tidak memilih pada Pemilu :

Masalah Internal KPU Dalam Penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Indonesia sudah beberapa kali menyelenggarakn Pemilu, harusnya masalah seperti ini sudah tidak perlu terjadi. Kalau hal ini tidak terjadi sepertinya akan lebih berkesan dari Pemilu 1955 yang dianggap sebagai Pemilu paling membanggakan sepanjang sejarah.

Menyusun DPT adalah tugasnya KPU dan Pemerintah. Kalau untuk menyususn DPT saja masih babak belur dan amburadul bagaimanamungkin hasil pemilunya bisa dibilah sah. Kesalahan dalam penyusunan DPT bisa disebabkan secara sistematis maupun keteledoran, tapi ada juga keteldoran yang sistematis. Ada satu bagian dari Pemilu yang dihilangkan dari zaman orde baru, yaitu Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih). Dengan hilangnya Pantarlih ini Pemilu 2004 dan 2009 selalu diributkan dengan persoalan DPT.

Saya tahu persis banyak petugas-petugas pendataan pada Pemilu 2009 yang tidak mendata langsung secara door to door. Mereka banyak menggunakan data sensus atau data kependudukan lain yang tidak jarang sudah bisa dibilang basi, basi karena diantara nama-nama penduduknya sudah ada yang meninggal dunia. Belum lagi ditambah dengan masyarakat muda yang baru memiliki hak pilih.

Apatisme Masyarakat

Apatisme masyarakat dalam Pemilu tentunya bukan tanpa alasan. Kalau penguasa berkoar-koar rakyatnya supaya tidak golput dan bersikeras mengajak rakyat untuk memilih saya rasa percuma saja. Percuma, karena rakyat sekarang mulai tidak mudah dibodohi. Lima tahun mereka dikadali dan dikecewakan dengan janji-janji palsu sang calon yang kini berkuasa, wajar saja kalau mereka apatis. Dengan kata lain “milih calon atau tidak sama saja, lebih baik memilih tidak milih”. Jadi tunjukanlah kepada rakyat kalau rakyat tidak salah memilih Anda. Saya yakin, pada saatnya pemilu nanti tidak disuruhpun rakyat akan mendukung Anda kembali.

Memilih Golput Karena Ideologi

Ini memang tidak sebanyak yang apatis, tapi percayalah kalau prosentase orang-orang yang golput karena ideologis semakin meningkat. Jangan salahkan rakyat kalau mereka mempunya ideologi yang berbeda, tapi lihatlah diri Anda yang menjadi ujung tombak ideologi yang dipakai saat ini, jangan-jangan perilaku politik Anda saat ini sangat menunjukan kebobrokan ideologi yang Anda usung.

Masyarakat yang golput karena alasan ideologi bisa dibilang jauh lebih berpolitik dibandingkan orang-orang yang berprinsip “mau tidak mau, ya pilih aja yang ada”. Kebobrokan-kebobrokan para penguasa dan lingkungan yang setiap hari dikabarkan oleh media memberikan gambaran kalau “tidak ada satu partaipun yang baik dan benar, berarti ikut memilih sama saja ikut memperburuk keadaan”. Ini semakin memberikan alasan kepada mereka untuk beralih pada ideologi lain baik secara religius maupun dengan menunggu sampai adanya perombakan sistem ideologi secara signifikan.

Banyak alasan orang untuk golput, seperti banyaknya pula alasan orang untuk memilih calon yang ada. Tapi saya lebih percaya kalau orang yang golput itu mempunyai alasan yang lebih logis untuk memilih golput ketimbang kebanyakan orang yang “mau tidak mau, ya pilih aja yang ada”.

Pada Pemilu Legislatif  2009, Dari 171.265.442 jumlah pemilih yang terdaftar sebagai pemilih tetap, hanya 121.288.366 orang yang menggunakan hak pilih. Dengan demikian terdapat 49.677.076 pemilih yang tidak ikut mencontreng. Sedangkan partai pemenangnya sendiri meraih 21.703.137 suara. Ini baru golput dari yang terdaftar, belum lagi yang tidak terdaftar. Kalau golput dianggap sebagai sebuah “pilihan” sudah jelas golputlah pemenangnya. Jadi jangan heran kalau tindak-tanduk angota parlemen kita sering menegecewakan, wong sama sekali mereka tidak mewakili keseluruhan rakyat Indonesia.

Kalau saja golput itu dihitung sebagai “pilihan”, maka bisa dipastikan saat ini kita tidak mempunyai wakil yang sah. Dan kalau golput dihitung sebagai suara yang sah, maka Ada apa dengan sistem kenegaraan kita ?.


Filed Under: Hukum, Politik

Andaikan Penjara Seperti Pesantren

12 April 2011 by Rosid

Pada lebaran tahun 2007 alhamdulillah saya pulang kampung dan bisa berlebaran bersama keluarga, walaupun tidak semua anggota keluarga hadir untuk momen ini saya sangat bersyukur, karena setidaknya saya berlebaran bersama ibu yang sangat saya cintai. Berkumpulnya seluruh anggota keluarga bagi keluarga saya memang sesuatu yang sulit, hal ini tidak terlepas dari keadaan keluarga saya sendiri yang terpencar-pencar. Dan ketika benar-benar bisa berkumpul semua itu adalah sesuatu yang sangat istimewa buat saya dan keluarga.

Setelah lama tidak pernah berlebaran dikampung halaman kemudian bisa kembali berlebaran di kampung sendiri tentulah sangat menyenangkan, walaupun suasananya tidak seperti dulu lagi disaat saya masih kecil. Saya benar-benar menikmati suasana yang berbeda, suasana yang tidak sama dengan ketika berlebaran di perantauan. Walaupun suasananya menjadi asing di kampung sendiri pokoknya indah dehh…

Satu hari seusai hari lebaran, saya diajak oleh teman saya untuk jalan-jalan naik mobil truk, tidak keren memang tapi jujur itu sangat mengesankan. Bayangan saya, saya akan diajak jalan-jalan ke sekitar daerah Ciater atau mungkin Tangkuban Perahu dan sekitarnya, atau biasanya (seingat saya waktu kecil) ke Pantai Pondok Bali, wilayah Kab. Subang bagian utara (pantura). Ketika saya bertanya keteman saya “Kita akan jalan-jalan kemana neh ?”, teman saya menjawab “ke pesantren”. Terang saja saya bengong dan kaget, tidak biasanya disuasana lebaran jalan-jalannya ke pesantren, benar meleset bayanga perkiraan saya.

“Pesantren ???, enggak salah ???… ziarah ke makam tokoh kiyainya maksudnya ?” tanya saya.

“Enggak ko, bukan begitu maksudnya. Pesantren yang dimaksud yaitu penjara,  kita mau ke penjara euy, ngejenguk ******, ******, dan ******, mereka ditahan disana karena kasus penganiayaan.” Jawab teman saya.

Sayapun tambah bengong, tapi kali ini bukan bengong dengan istilah pesantren yang = penjara tersebut. Saya bengong atas nasib teman-teman saya yang pada saat itu meringkuk di dalam jeruji besi.

Beranjak dari kisah tersebut, kini di tahun 2011 pikiran saya kembali diingatkan dengan penjara yang diistilahkan sebagai pesantren tersebut, seiring dengan munculnya kasus Kalapas Nusakambangan yang ternyata  juga menjadi legalitasor masuknya narkoba kedalam Lapas Nusakambangan.

Sudah menjadi rahasia umum memang kalau penjara bukan lagi tempat yang efektif untuk menjadi tempat pesakitan bagi para pelaku tindak kriminal dan kejahatan. Logika awalnya penjara memang merupakan konsep sanksi yang dapat memberikan efek jera bagi para pelaku tindak kriminal dan kejahatan, dan menjadi pelajaran bagi masyarakat lainnya agar tidak melakukan pelanggaran hukum, paling tidak untuk kasus yang sama.

Selain itu, penjara yang memberikan pembatasan dan pengurangan terhadap hak-hak para narapidananya sangat diharapkan bisa memberikan rehabilitasi terhadap para narapidana (napi), sehingga begitu napi tersebut bebas ia tidak lagi mengulangi kesalahannya, selain karena kapok juga karena sudah ada bekal baru (mental dan spiritual) yang lebih baik yang merupakan hasil rehabilitasi dari lembaga pemasyarakatan (lapas).

Konsep-konsep yang bisa dipahami dengan akal yang sederhana itu kini ibarat panggang jauh dari api. Seseorang yang dipenjara karena kasus maling, begitu bebas bukannya baik malah jadi perampok (lebih parah), orang yang dimasukan ke penjara begitu bebas karena kasus narkoba bukannya berhenti nyandu tapi malah jadi bandar. Ini adalah fakta, yang lahir dari kesalahan sistem yang diperparah dengan penyimpangan pada pelaksanaannya.

Sistemnya dianggap salah, karena masih memberikan peluang besar kepada para pelaksananya untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan dan penyalahgunaan. Kesalahan dimulai dari awal perekrutan para pelaku sistem itu sendiri, perekrutan sangat sarat dengan trik intrik materialistik dan nepotistrik (istilah terakhir maksa banget J). Karena orientasi untuk mengabdinya adalah uang, maka dimana ada uang disitulah lahan pengabdiannya. Kasarnya, dimana bandar narkoba siap memberikan kompensasi yang lebih besar dari gaji yang diberikan oleh negara maka why not ?, karena uang sudah dianggap most oriented. Selain itu dengan bekerjasama dengan para kartel-kartel tersebut dianggap akan jauh lebih memberikan rasa aman bagi para pelaksana tersebut, ketimbang nantinya mereka akan terus dibawah bayang-bayangan ancaman manakala para kartel itu bebas.

Inilah, Penjara ala Pesantren

Penjara ala pesantren itu sendiri sepertinya memang belum ada atau mungkin sayanya yang belum tahu. Paling tidak maksud dari penjara ala pesantren itu sendiri satu hal yang hadir dalam benak pikiran saya yang berawal dari kisah jalan-jalan saya ke pesantren (penjara). Saya sendiri memang tidak sempat menanyakan kenapa penjara ko pesantren ?, padahal pada kenyataanya sangat jauh berbeda dengan yang namanya pesantren. Tapi its oke, saya rasa tidak ditanyakanpun kita bisa memahaminya, paling tidak kita memahami itu sebagai kata kiasan yang memperhalus kata “penjara”.

Banyak orang tua yang ketika sudah lelah dan menyerah dalam mendidik anaknya yang kelakukannya sudah sangat buruk lalu kemudian menitipkannya ke pesantren-pesantren. Mereka percaya bahwa di pesantren ada satu pola yang baik dan positif untuk memanusiakan manusia. Padahal (sebatas yang saya ketahui) pola pendidikan perilaku dan mental yang diajarkan oleh pesantren itu sangat sederhana, yaitu dengan memupuk kembali fitrah manusia sebagai makhluk yang diciptakan untuk mengabdi kepada Allah SWT.

Sistem yang diterapkan pada sebuah pesantren jarang sekali ada penyimpangan pada pelaksanaannya, karena memang orang-orang yang bertanggungjawab untuk menjalankan sistem tersebut dengan keimanannya yang kuat sangat yakin betul bahwa mereka memiliki tanggungjawab langsung kepada Allah SWT. Dan orientasi pengabdian mereka bukan lagi uang ataupun metari melainkan ibadah.

Untuk memanusiakan manusia hanya dengan pendekatan-pendekatan fitrah manusiawi kita bisa merehabilitasinya, disamping dengan tidak mengabaikan sanksi-sanksi yang wajib diterima oleh para narapidana tersebut. Jalurnya hukumnya pertama berikan narapidana tersebut sanksi yang sesuai yang kemudian disertai dengan proses pemulihan dan perbaikan terhadap dirinya.

Sistem keamanan di pesantren memang tidak seketat pengaman di penjara, tapi bukan tidak mungkin kan kalau untuk sistem pengamanannya agar para narapidana tersebut tidak melarikan diri menerapkan pola di penjara-penjara saat ini ?, dengan beberap inovasi saya yakin sangat mungkin.

Secara lingkup area sangat terbatas seperti di lapas, tapi secara pembinaan sangat manusiawi dengan mengadopsi sistem pesantren. Setidaknya beberapa hal dapat terpenuhi :

  1. Secara sanksi pidana, mereka sudah menerimanya dengan tidak adanya hak-hak kebebasan pada diri mereka seperti disaat mereka hidup dilingkungan bermasyarakatnya, ini sebagaimana dipenjara-penjara pada umumnya.
  2. Secara manusiawi, hak-hak mereka tetap terpenuhi. Bisa kita bandingkan bagaimana kehidupan di penjara dengan dipesantren, mana yang jauh lebih manusiawi kita tentu dapat menilainya sendiri.
  3. Secara perilaku mereka bisa cenderung lebih cepat menjadi baik, dengan penekanan pembinaan mental dan spiritual secara halus akan semakin mendekatkan diri mereka dengan Allah SWT. Semakin dekat diri dengan Allah perilaku dan mentalpun akan semakin baik.
  4. Secara hubungan sosial, tidak akan pernah para pelaksana sistem tersebut merasa terancam dibawah bayang-bayang balas dendam para napi yang bebas dikemudian hari, karena begitu mereka bebas mereka (Insya Allah) sudah berperilaku dan bermental jauh lebih baik. Yang ada berterimakasih bisa jadi.

Dari gambaran-gambaran diatas mudah-mudahan bisa kita fahami bagaimana penjara berkonsep pesantren tersebut. Atau sederhanya begini saja, sobat bayangkan sebuah lembaga pemasyarakatan namun kehidupan didalamnya sangat bernuansa pesantren.

Pada faktanya tidak semudah menteorikan memang, tetapi tidak mudah tentunya bukan berarti tidak mungkin.

Apa yang termuat pada artikel ini hanyalah apa yang keluar dari dalam benak pemikiran saya, bisa mengandung sesuatu yang benar atau bahkan mungkin juga sepenuhnya salah. Apa yang benar itu semata-mata kehendak Allah, dan apa yang salah itulah sifat manusiawi saya. Dan saya mohon maaf atas segala kekliruannya. Mudah-mudahan bermanfaat.

Filed Under: Hukum

© 2019 · Rosid · Built on the WordPress