• Skip to primary navigation
  • Skip to content

ROSID

Blog Inspiratif

  • Beranda
  • Blog
  • Arsip
  • Disklaimer

Empat Jam Diguyur Pelajaran Kehidupan

14 Oktober 2012 by Rosid

Sebetulnya ini bukanlah sebuah kisah istimewa sebagaimana jika para cerpenis bercerita. Ini hanyalah sebuah momen 4 jam yang penuh pelajaran.

Sekitar jam tujuh lebih tiga puluh menit malam, saya berpamitan kepada teman-teman yang menghadiri acar “Diskusi Budaya dan Wisata” yang diadakan oleh ASEAN Blogger Community dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) di Gedung Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kemenlu.

Dengan berjalan kaki, saya menyusuri trotoar sepanjang Jalan Sudirman, kemudian berhenti di halte Ratu Plaza. Disini saya menunggu bus Feeder Blok M – Citra Raya Tangerang. Saya memilih menunggu bus ini karena hanya dengan sekali naik bisa langsung sampai ke rumah. Tanpa perlu naik – turun beberap angkutan.

Sampai  jam Sembilan, bus yang saya nantikan tak kunjung datang. Sementara bus jurusan Tangerang lainnya (AC 34 : Blok M – Poris Plawad) sudah beberapa kali melintas.

Dulu, sebelum ada bus Feeder, biasanya saya menggunakan AC 34. Turun di Perum Karawaci, kemudian naik angkot yang ke Cimone, terus disambung lagi naik angkot Cimone – Balaraja, turun di Citra Raya. Untuk finishing naik ojek sampai ke rumah.

Bayangan kenyamanan Feeder Blok M – Citra Raya mengabaikan saya untuk memanfaatkan kesempatan yang diberikan AC-34. Sampai pada akhirnya, sekitar jam Sembilan lebih tiga puluh meni, Feeder Blok M – Citra Raya tak kunjung datang dan AC 34 pun tak kunjung melintas. Ditengah kecemasan, saya masih beruntung, melintas bus PPD R 45 Blok M – Cimone yang kondisinya sudah layak untuk diremajakan.

Antara Kesempatan dan Harapan

Kejadian tunggu-menunggu bus diatas mengingatkan saya pada cerita tentang memilih rumput terbaik di tengah lapangan sepak bola sambil maju kedepan tanpa boleh mundur kembali. Tidak ada hasil yang didapat, sementara tidak sadar kita sudah sampai di ujung lapangan.

Saya telah begitu banyak melewatkan kesempatan yang ditawarkan oleh AC 34 dan tetap setia menanti Feeder Blok M – Citra Raya, dengan harapan bisa sampai lebih cepat. Padahal, kalau saja dari awal saya cepat ambil keputusan naik AC 34, tidak mesti saya sampai rumah hampir tengah malam.

Ini bukanlah sebuah penyesalan, tapi saya catat sebagai pelajaran dalam mengambil keputusan yang cepat dengan memperhatikan segala kemungkinan terburuk jika keputusan tersebut tidak diambil.

***

Allah Menjaga Lidahnya dari Keluhan

Sesampainya di Islamic Village – Karawaci, barulah saya punya kesemptaan untuk duduk. Rasa lelah dan penat beban pikiran sedikit terobati dengan duduk. Mau buka ponsel ternyata si ponsel sudah terlelap duluan, lowbet.

Tidak lama kemudian, sang  sopir membangunkan saya dengan santai dan ramah.

Kaget bukan kepalang, dengan kondisi yang kurang sadar saya agak kelimpungan. Tidak pikir lagi sudah sampai mana saya langsung minta turun.

Setelah turun saya tambah bingung lagi, nah lho !, ini dimana ?. Baru beberapa menit kemudian saya sadar sepenuhnya kalau saya turun di daerah Perum.

Berdiri dipinggir jalan dengan tidak tahu itu jam berapa, saya malah kepikiran  kenapa yang membangunkan saya tadi sopirnya, bukan kondekturnya ?. Saya baru ingat, (mohon maaf) kondekturnya tuna wicara.

Allah kembali menunjukan kepada saya hikmahnya yang luar biasa. Bagaimana saudara-saudara kita yang dalam keterbatasanpun tidak lelah dan tidak mengeluh dalam menjemput rizkinya.

Kalau saja kita pernah mendengar kalimat doa : “Ya Allah, jika ini yang terbaik buat hamba, maka kuatkan hai hamba supaya bisa ikhlas menerimanya”.Kita bisa membayangkan bagaiamana kondektur yang tuna wicara tadi menerima keadaan pada dirinya tanpa mengurangi semangat kerja kerasnya.

Sampai disini saya bertanya-tanya :

“Ya Allah, bisa jadi lidah kami yang dalam kondisi normal ini tidak lebih bermanfaat dari lidah sang kondektur tadi. Bisa jadi lidah kami ini lebih menghasilkan dosa ketimbang tidak menambah dosa. Sungguh, luar biasa rasa sayang-Mu kepada sang kondektur tadi dalam menjaga lidahnya dari keburukan ucapan seperti yang sering terlontar dari mulut kami.”

***

Jalanan Menguji Kesetiaan

Angkot yang saya tunggupun datang. Begitu masuk saya agak kaget ketika di dalamnya ada seorang perempuan berjilbab sedang menangis. Duduk persis di belakang pengemudi.

Angkotnya masih kosong memang, hanya ada pengemudi, saya, penumpang di samping pengemudi, dan perempuan yang menangis tadi.

 Ternyata, perempuan yang menangis tersebut adalah istri dari si pengemudi angkot yang meminta suaminya pulang. Dan penumpang didepan adalah selingkuhan si pengemudi.

Sebelumnya saya mohon maaf. Saya tidak bermaksud menguping pertengkaran tersebut. Tapi saya tidak punya pilihan lain. Mau tutup kuping dengan headset, ponsel sayanya sendiri mati.

Ada dua dasar yang membuat saya tetap menaiki angkot tersebut : Pertama, khawatir menyinggung ketiga orang yang terlibat masalah bersama didalamya. Kedua, siapa tahu uang yang saya bayarkan sebagai penumpang bisa menambah penghasilan si pengemudi. Harapannya sih mudah-mudahan penghasilannya sesuai peruntukannya.

Kemudian saya berasumsi ; baiklah, apa yang saya saksikan ini adalah pelajaran yang harus saya bisa ambil hikmahnya.

Sang istri meminta suaminya pulang, karena anaknya dirumah selalu menanyakan bapaknya. Yang membuat batin saya terenyuh adalah ketika istri sopir angkot tersebut  bilang kalau dia sekarang jadi tukang cuci pakaian di 4 rumah sekitarnya. Alhamdulillah cukup buat makan diri dan anaknya.

Astagfirullah, saya ingin menangis rasanya saat menyaksikan itu. Saya tidak bisa menyimpulkan hikmah dari peristiwa di angkot tersebut ke dalam blog ini. Mudah-mudahan kita bisa mengambil hikmahnya bersama-sama.

***

Hormat dan Cinta di Depan Pabrik Mayora

Sesampainya di Cimone, saya pindah naik angkot jurusan Cimone – Balaraja. Malam tampaknya sudah sangat larut, tergambar dari hampir semua angkot dalam keadaan kosong.

Singkat cerita, angkot sudah ada di depan pabrik Mayora. Cukup lama angkot yang saya tumpangi berhenti disini. Tapi tak apalah, saya coba memaklumi, karena si pengemudi angkot juga butuh penumpang untuk menambah pundi-pundi penghasilan demi tanggungan mereka.

Ya, angkot saya tumpangi sedang menunggu karyawan PT Mayora ship 3 keluar. Itu juga bisa diartikan waktu menunjukan sekitar jam 11 malam.

Begitu para karyawan yang didominasi perempuan keluar, sebagian besar dari mereka langsung menyambangi orang-orang yang mencintai mereka menjemput. ‘Hujan cium tangan’pun menjadi pemandangan nyata yang saya saksikan dimalam itu.

Ya Allah, betapa indahnya pemandangan itu. Antara rasa hormat dan cinta berpadu menggugurkan semua rasa lelah sisa bekerja. Menggeser rasa kantuk dengan rasa tanggungjawab sebagai pelindung ketika harus menjemput orang yang dicintainya.

Salam penuh persahabatan “semoga esok bisa bertemu kembali di medan juang” melambai tertiup oleh senyuman dari tangan-tangan mereka.

***

Meletakan Jabatan untuk Ketenangan

Angkota sudah penuh, si pengemudipun tancap gas.

Dalam hitungan menit, saya sudah sampai di depan gerbang Citra Raya. Turun dari angkot langsung berpindah angkutan. Sebagai “hidangan penutup”, ojek-lah yang kali ini jadi pilihannya.

Kebiasaan saya jika naik ojek adalah selalu mengajak berbicara tukang ojeknya. Tidak terkecuali untuk yang satu ini.

“Keluar jam berapa Pak ?” (pakai “bapak” mengingat usianya yang sudah cukup tua)

“Dari siang Mas”

“Wah, sudah lumayan cukup dong pak buat yang dirumah. Heheheheee”

“Ya Alhamdulillah Mas, setidaknya antara kebutuhan dan pendapatan bisa ekuilibrium”

Mendengar istilah ekulibirum yang tidak umum, sayapun agak ngernyit. Ini tukang ojek jangan-jangan ahli ekonomi.

“Hah, ekuilibirum apaan pak ?”

“Seimbang Mas, ya setidaknya kan tidak defisit”.

Hemhhh… mendengar cara dia berbicara, saya tidak yakin kalau tukang ojek ini tidak sekolah cukup tinggi. Meskipun memang ijazah tidak menjamin keluasan pengetahuan seseorang.

“Istilah bapak berat-berat banget pak, bapak lulusan sarjana ya ?”. Tanya saya dengan nada canda

“Alhamdulillah mas, masih diakui bergelar doktorandus sama almamater saya” Heheheee

Kalau sudah begini apa nih kira-kira yang saya tanyakan lagi ?. Yahhhh itu dia !.

“Maaf pak, ko memilih jadi tukang ojek pak ?, apa paginya ngajar ?” (tanpa bermaksud menganggap rendah profesi tukang ojek)

“Nggak Mas, dulu saya sempat jadi PNS Pemda. Tapi setelah beberapa tahun jadi bagian dari Korps Pegawai Negeri, saya memilih mengundurkan diri.”

“Lha kenapa pak ?”

“Saya merasa tidak nyaman, ketika gaji yang saya makan bersama keluarga setiap bulannya merupakan buah dari menyogok saat melamar jadi PNS. Bayangkan, seandainya seumur-umur saya makan uang hasil kerja yang diawali dengan kecurangan. Batin saya merasa khawatir tidak barokah atas uang saya dapat, ditambah lagi kerja saya yang khawatir tidak bisa bernilai ibadah, karena diawali kecurangan dengan menyogok itu tadi”.

“Meskipun memang saya akui jadi tukang ojek sendiri tidak bisa lepas dari salah dan khilaf”. Lanjut si bapak tukang ojek.

Menyimak ucapan dari tukang ojek yang menohok pikiran saya, sampai-sampai saya tidak sadar kalau tujuan akhir saya sudah terlewat beberapa rumah.

Sampai disini fokus obrolan buyar. Tapi, poin-poin penting perkataan tukang ojek tadi begitu melekat dalam pikiran saya.

***

Tidak mau kehilangan pelajaran berharga ini, sayapun bersegera menuliskannya di blog ini. Harapannya semoga bisa menjadi pengingat saya sendiri ketika hati kering atas hikmah (mudah-mudahan jangan sampai), selebihnya semoga bermanfaat bagi yang berkenan membacanya. Mohon maaf atas keliruannya.

4 Jam Hujan Pelajaran Kehidupan

Sumber gambar ilustrasi : fotocommunity.com (berlisensi CC)

Filed Under: Catatan Kaki, Sastra

Orang Miskin Dilarang Jatuh Cinta ?

6 Januari 2012 by Rosid

Waktu magrib baru saja berlalu, usai menunaikan kewajiban ku langsung berlari menuju loket tiket. Sedikit tergesa-gesa memang, karena kereta yang akan ku tumpangi sebentar lagi melaju. Penjaga tiketpun menyarankanku supaya lekas berlari karena kereta akan segera jalan. Saat ku akan naik, persis pintu kereta tersebut menutup. Hahhhh… hampir saja aku pasrah dan harus menunggu kereta selanjutnya yang entah akan tiba pukul berapa, aneh memang… kereta tidak macet seperti mobil tapi sering sekali ada gangguan. Namun saat itu sepertinya memang aku sedang sedikit beruntung, pintu kereta kembali terbuka. Aku baru ingat, kalau Commuter Line memang pintunya akan langsung kembali terbuka sekali setelah tertutup. Tanpa pikir panjang akupun langsung masuk melompat khawatir pintunya keburu menutup lagi.

Didalam kereta sedikit sepi, masih ada beberapa bangku kosong yang bisa ku tempati. Maklum, mungkin disaat jam tersebut  justru arah sebaliknya yang sedang padat.

Saat kereta singgah di Stasiun UI, seketika keretapun penuh sesak, jangankan berebut duduk, sudah mendapatkan pegangan tanganpun sepertinya sudah bersyukur sekali. Beruntunglah di Commuter Line sudah ada gerbong khusus perempuan yang bisa membuat perempuan lebih bisa sedikit tenang tanpa harus berdesakan dengan laki-laki.

Berdiri didepanku seorang pria berusia setengah baya, wajahnya penuh keringat, pandangannya kosong kearah kaca kereta, kaki kiri dan kanannya silih berganti ia jadikan tumpuan. Lelah dan pegal mungkin itulah yang ia rasakan, sementara tentang pandangannya yang terkesan kosong aku tak bisa memahami.

“Pak, silahkan gantian duduknya”. Sapaku sambil berdiri.

“Ah gak apa-apa dek, santai aja… santai aja…”

“Nggak pak, saya sudah dari tadi, gak apa-apa pak… gantian aja. Ayo pak.. ayo pak…”. Aku yakin, pada kenyataannya si bapak tersebut sudah sangat lelah, namun ia berusaha tetap bersahaja. Akhirnya setelah aku berdiri dan menempatkan diri di posisi dia, si bapak tersebutpun duduk dibangku bekas tempatku.

“Makasih banyak ya dek !” tukas si bapak penuh senyuman

“Owh iya pak sama-sama”.

Selang beberapa lama kemudian si bapak tersebut kembali menyapaku

“Mau kemana dek ?”

“Ke Tangerang pak”

“Lha emangnya kereta ini lewat ke Tangerang ?” tanya si bapak sedikit heran.

“Enggak pak, maksudnya saya ke Juanda baru disambung naik bis”.

“Ooooooh… saya kirain masuk stasiun Tangerang. Heheheheheee… Pulang kerja atau kuliah ?”

“Habis main aja pak”

“Main, silaturahmi, apa ngapel ???” tanya si bapak sedikit bergurau

“He he he… silaturahmi mungin sedikit lebih tepat pak”. Jawabku sambil balas senyuman si bapak

“Owh iya, namanya siapa ?, saya Rusli.” Si bapak tersebut yang kemudian ku kenal dengan nama Pak Rusli menyodorkan tangan. Sodoran tangan tersebutpun ku sambut dengan salam perkenalan.

“Saya Rosid pak”.

“Oh ya… ya… ya…  terimakasih banyak Mas Rosid”. (Pak Rusli menganggukan kepala sambil berjabatan tangan dengaku).

“Mas Rosid sudah berkeluarga ?”

“Sampai saat ini belum pak”

“O masih single toh ?”

“Kurang lebih begitulah kira-kira…”

Ha ha ha ha ha haaaa… kamipun tertewa kecil bersama-sama.

“Single bukan berarti jomblo to ?”

“Ya jelas bukan pa, single itu kan prinsip sedangkan jomblo itu nasib. Itu juga katanyaaaaa… sih pak”

“Hahahahaaaaaa…. yang pasti bukan kata Khalil Gibran kan ?”

Lagi-lagi kamipun tertawa kecil bersama-sama, suasana menjadi seikit cair. Mencairkan suasana hari saat itu yang terus membayangi isi kepala. Tidak perlu ditanya suasananya seperti apa, mungkin cukup aku dan Tuhan yang tahu.

“Nah terus kalau Mas Rosid yang mana, single apa jomblo ?”

“Waduh, saya perpaduan keduanya kayaknya”

“Hemmmmmm… rumit juga ya, tapi itu artinya sampean beruntung. Bernasib jomblo disaat punya prinsip masih pengen sendiri”.

“Ya nggak begitu juga pak, kalau prinsipnya belum mau punya pasangan sampai ada yang menerima kita apa adanya kan bisa juga single plus jomblo”. Jawab saya sabil sedikit tertawa kecil

“Bentar-bentar…. belum mau punya pasangan sampai ada yang menerima kita apa adanya ???”. Pak Rusli tampak merenungkan kalimat terakhir yang ku ucapkan.

“Berarti, kalau gak ada yang menerima kita apa adanya itu sama saja berpegang pada prinsip tapi juga terima nasib ya ?”

“Ya…. begitulah pak kira-kira. Ribed ya pak ?”

Sampai disini Pak Rusli terdiam, beliau diam sayapun  diam. Diamnya beliau bukan karena tidur, dari raut wajahnya tampak dia seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Tau nggak mas ?”

“Iya pak !”. Jawabku rada sedikit terkaget.

“Apa yang sampean bilang tadi mengingatkan pengalaman saya di 25 tahunan yang lalu.”

“Maksudnya  ?”

“Sewaktu masih bujangan dulu, saya pernah menyukai seorang perempuan. Saat itu saya benar-benar suka, benar-benar cinta. Bodohnya saya waktu saya tidak sadar diri kalau saya ini terlahir dari keluarga yang sangat miskin.

Saya terlalu percaya diri untuk mengungkapkan rasa cinta. Tidak peduli kanan – kiri, yaitu orang-orang yang mungkin bersaing dengan saya untuk mendapatan si perempuan tersebut. Tidak peduli juga depan – belakang, yaitu keluarga dan latar belakang si perempuan tersebut dan juga latar belakang dan keluarga saya. Pokok’e saya nekat.

Kenekatan saya nggak sia-sia mas. Si perempuan tersebut menerima saya sebagai pacarnya.

Petaka mulai muncul sewaktu saya tidak bisa mengimbangi cara hidup dia. Ya dia gak minta apa-apa emang mas. Tapi rasa cinta kita sama dia itu membuat kita kepengen jadi sosok yang seimbang dengan dia. Kalau seimbang kan paling tidak kalau jalan gak kaya majikan (dia) sama jongos (saya).”

“Terus pak ?”. Tanyaku penuh penasaran

“Akhirnya saya lelah sendiri mas. Kalau pacaran saja kaya begini gimana kalau menikah ?. Dan sampai menikahpun kayaknya gak mungkin, dan sampai saat itupun dia belum tahu tentang kondisi saya sebetulnya”

“Nah terus selama bapak ngimbangin itu gimana ?, pakai cara apa bapak ngimbanginnya ?

“Wah itu gak bisa saya jelasin mas, suram dah pokoknya. Saya sendiri nyesek kalau nginget masa itu”

“Lanjutin nih ya mas…”

“Iya pak”

“Ternyata apa yang saya perkirakan emang bener, begitu saya berterus terang sama dia akhirnya kitapun langsung bubar jalan mas. Mungkin kalau bubarnya karena dia sudah dibohongi rada sedikit terhormat kali ya mas, ya paling tidak ada harapan buat minta maaf atas kebohongan sayalah. Lha ini bubarnya asli karena saya kismin mas”

“Berawal dari situ saya mulai minder mas”

Kata “minder” disinilah mula sedikit menyinggung perasaanku. Kesinggung tapi semakin penasaran dengan kisah si bapak Rusli tersebut.

“Sejak itu… saya selalu berpikir lebih dari dua kali sampai akhirnya harus memendam setiap rasa suka terhadap perempuan. Meskipun yang nyatain cintanya duluan si perempuan lho mas”

“Ko bisa pak, justru itu kan enak pak ditembak duluan”

“Begini mas, sekarang saya mau tanya dulu sama sampen ; enak nggak kira-kira kita ditembak duluan kemudian juga diputusin duluan. Alasannya karena miskin. ?”

“Ya jelas enggak lah pak”

“Nah itu dia mas. Sewaktu dia menyatakan suka sama saya mungkin karena sebatas yang dia lihat dan dia dengar, bukan dengan yang dia ketahui. Suka itu gampang mas, tapi buat seperti yang sampean bilang tadi,  menerima apa adanya itu belum tentu mas.”

“Terus sekarang bapak sudah berkeluarga ?”

“Alhamdulillah anak sudah tiga”

“Nah itu bisa punya istri pak ?, bisa nerima apa adanya dong tentunya ?. kasih ilmunya dong pak !.” Pertanyaanku yang asli rada nyeleneh.

“Entar mas… itu masih jauh, setelah melewati proses yang sangat panjang”

“Owhh.. oke deh pak”

“Kembali ke yang tadi ya. Sejak kejadian itu saya jadi beranggapan kalau orang miskin seperti saya ini dilarang jatuh cinta sama Tuhan”

“Maksdunya pak ?”. Pertanyaanku penuh penasaran memotong pembicaraannya.

“Sekarang begini mas, kalau saya menikah sama orang kaya itu sangat kecil kemungkinannya. Sekalipun terlaksana, mungkin saya dianggap rejeki yang buruk bagi keluarga si perempuan. Karena tidak sedikit orang yang menganggap bahwa jodoh bagi seorang perempuan itu tak ubanya rejeki. Meskipun mungkin anggapan tersebut tidak bisa dianggap sepenuhnya benar.

Kemudian seandainya saya menikah dengan orang miskin, sepertinya itu sama dengan memperberat program kerja pemerintah dalam memberantas kemiskinan mas.”

“Ha ha ha ha haaaa… bisa aja ah si bapak”.

“Beneran lho mas… Lebih diri itu, mungkin saya ini masih miskin hati, miskin  kepedulian, dan miskin kepala. Ketiga hal tersebut  saya rasa yang lebih berbahaya daripada miskin yang pertama.

Saya meyakini mas, kalau pasangan hidup itu adalah amanah buat kita. Dan tandanya Tuhan sayang sama kita itu Ia akan memberikan amanat sesuai dengan kekayaan (kemampuan) diri kita. Siapapun kepingin punya pasangan yang kaya akan kebaikan mas, tapi siapapun sering lupa memperkaya dirinya dengan kebaikan, baik itu hati, kepedulian, dan juga pikiran. Ketiga hal tersebut terpenuhi insya Allah kekayaan materi akan mengikuti”

Dari obrolan awal yang penuh canda gurau, sekarang saya menjadi sedikit termenung dengan begitu luar biasanya hikmah pengalaman yang dibagi dari seorang lelaki setengah baya yang saya jumpai di kereta Depok – Jakarta. Tanpa terasa kereta sudah singgah di stasiun Gambir dan Pak Ruslipun harus berpamitan dengan saya.

Pukul setengah dua belas malam saya baru tiba di Tangerang. Mata belum bisa terpejam, dimana saat bersamaan masih terpikirkan banyak hal yang penuh kesan selama seharian. Penuh hikmah dan insya Allah mengandung berkah.

Kisah dan kesan yang kali ini baru saja sempat aku ceritakan… Demikian sobat, semoga bermanfaat.

orang miskin dilarang jatuh cinta

Filed Under: Cinta, Sastra

Belajar dari Ikan Kecil dan Air

28 Desember 2011 by Rosid

Di suatu hari ada seorang anak diajak bermain oleh Ayahnya sambil berbincang-bincang dipingir sebuah sungai yang airnya sangat jernih dan menyegarkan. Sang Ayah berkata “Lihatlah anakku betapa berharga dan pentingnya air dalam kehidupan ini, kita akan mati tanpa air”.

Disaat yang bersamaan, didalam air ada seekor ikan kecil yang mendengarkan percakapan tersebut, dan itu sangat membuat penasaran si ikan. Ikan yang kecil tersebut mendadak gelisah dan ingin tahu apa itu air, yang oleh manusia diangap sebagai sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan.

Ia kemudian berenang dari hilir ke kehulu, dari ujung ke tepian, untuk menanyakan apa itu air  kepada semua ikan yang ditemuinya, “Hai !, tahukah kamu apa itu air ?, dimana kita dapat menemukannya ?. Aku mendengar percakapan manusia bahwa katanya kehidupan akan mati jika tanpa air”.

Sayangnya dari setiap ikan yang ia sambangi tidak ada yang bisa menjawab pertanyaannya. Ia semakin gelisah. Ia khawatir kehidupan akan segera berakhir karena diantara ikan-ikan yang ia temuipun tidak ada yang tahu apa itu air, sementara air itu sendiri penting untuk kehidupan.

Sampai di mata air, ia bertemu dengan ikan yang paling sepuh. Dengan penuh rasa hormat ia bertanya tentang hal yang serupa “Dimana air itu berada ?”. Kemudian, dengan penuh kasih sayang Ikan sepuh menjawab, “Tidak perlu gelisah anakku, air itu telah mengelilingimu sehingga kamupun tidak menyadari kehadirannya. Air tersebut begitu melekat dengan dirimu meskipun selincah apapun kamu bergerak”.

Apa pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah si ikan kecil dan air tersebut ?

Sebagai manusia, seringkali kita seperti ikan kecil tersebut. Begitu panik kita mencari kehidupan dan kebahagiaan kesana kemari. Padahal kehidupan sedang kita arungi dan kebahagiaan sedang melekat dengan diri kita.

Kita sering lupa bahwa senyuman orang lain untuk kita adalah sebuah kebahagiaan. Kita sering menganggap bahwa perhatian orang tua cenderung dianggap sebagai pengekangan kebahagiaan padahal disisi orang lain begitu banyak yang merindukan perhatian dari orang tuanya.

Seringkali kita tertipu oleh kebahagiaan-kebahagiaan semu yang justru semakin melupakan kita akan syukur nikmat atas banyak hal yang Allah berikan. Kita begitu tersiksa oleh persoalan rasa suka terhadap seseorang sampai dengan bodohnya kita menghakimi Allah dengan  sebutan “tidak adil”.

Kita tidak lagi mampu menyadari begitu banyak saudara-saudara kita yang harus menahan rindu sepanjang hayat untuk dapat melihat indahnya ciptaan-ciptaan Allah, bahkan untuk melihat bentuk rupa wajahnya sendiri. Bagi kita yang merasakan betapa nikmatnya penglihatan, bukankah itu sebuah kebahagiaan ?, subhanallah… kebahagiaan itu begitu melekat dengan diri kita. Baik kebahagiaan maupun kesulitan, inti keduanya adalah ujian.

[box] “Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran)”.

(QS Al Araaf  168)[/box]

Sahabat…. sepertinya kita tidak akan pernah menemukan makna kebahagiaan yang lebih luas selama kita tidak pernah mensyukuri segala nikmat yang ada pada  diri kita. Allah begitu dekat, lebih dekat dari segala nikmat yang begitu melekat dengan diri kita…

[box type=”info”]

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. Al Qasash ’77)

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS Ibrahim ‘7)

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”. (QS An-Nahl 112)[/box]

Wallahu’alam

IKAN KECIL

Filed Under: Inspirasi, Sastra

Hikmah Gema Kehidupan

21 Desember 2011 by Rosid

Dikisahkan ada seorang anak  yang tinggal hanya dengan Ibunya, sedangkan Ayahnya sudah hampir 7 tahun meninggalkannya tanpa sebab yang jelas. Sang ibu sehari-hari bekerja sebagai pemetik teh sedangkan sang Anak masih duduk dibangku kelas 3 Sekolah Dasar.

Celakanya, meskipun berlatar belakang sebagai keluarga yang kurang mampu (terlebih lagi ia hanya hidup berdua sama sang Ibu) si Anak justru nakalnya luar biasa. Bisa dibilang tidak mawas diri lah.

Hampir setiap harinya ia selalu membuat keonaran yang membuat teman-teman disekolah tidak menyukainya. Namanya juga anak nakal, meskipun dia yang nakal dia selalu beranggapan kalau dirinya tidak nakal. Suka main rebut jajanan anak lain, tidak segan main pukul, dan tidak kapok diberi sanksi oleh guru.

Pada satu waktu, kenakalannya membuahkan hasil. Tidak ada satupun anak yang menanggapi setiap ucapannya, tidak ada satu orangpun yang mau duduk semeja dengannya, dan parahnya lagi setiap ia memukul maka anak-anak yang lain sudah berani mengeroyoknya.

Situasi ini semakin membuat si anak yang super nakal tersebut depresi dan stres. Begitu bel pulang berbunyi ia lantas lari pergi keatas bakat untuk mencari suasana yang tenang. Saat naik ke atas bukit tiba-tiba si anak terjatuh.

“Aduh !!!” teriak si anak secara refleks.

Tiba-tiba terdengar gema suaranya yang memantul dari perbukitan “Aduh !!!”.

Karena selama ini ia tidak pernah mendengar suara gema, ia pun menjadi terkaget “Hei, siapa kamu ?”, sahut si anak.

Gema pun kembali terdengar “Hei, siapa kamu ?”.

Si anak semakin geram “Kamu Pengecut !!!”, gema pun kembali terdengar “Kamu Pengecut !!!”.

Karena sendirian, si anak justru meras ketakutan dan lari sekencang-kencangnya mencari ibunya. Dengan penuh rasa takut dan panik, si anak menceritakan tentang suara yang menyahut setiap ucapannya di atas bukit tadi kepada Ibunya. Mendengar cerita si anak, sang ibu tersenyum-senyum.

“Ko ibu malah tersenyum ?” Tanya si anak tambah kesal.

Dengan suara lembut penuh kasih sayang, sang ibu menjelaskan

“Suara yang kamu dengar, yang selalu mengulangi kata-kata kita, itu disebut gema. Gema terjadi akbiat suara kita yang memantul ke dinding atau tebing. Jika kamu berteriak kata-kata buruk, kata-kata itu pula yang kembali kepadamu. Jika kamu berteriak kata-kata baik, maka kata-kata itu pula yang kembali padamu. Kata-kata apa yang ingin kamu dengar, semua kembali padamu. Berteriaklah sesuai dengan yang kamu ingin dengar, maka gema akan meneriakkan kembali kepadamu.”

“Terus ?”

“Dari pengalaman kamu tadi, kamu juga dapat mengambil pelajaran, bahwa setiap apa yang kita perbuat itu akan menuai hasil. Kalau kita menyakiti orang lain, bukan tidak mungkin orang lainpun  akan menyakiti kita. Kalau kita berbuat baik kepada orang lain, maka orang lainpun akan baik kepada kita. Apa yang kamu tanam itulah yang kamu tuai. Jadi, tidak perlu kaget kalau teman-temanmu tidak ada yang baik kepada kamu kalau kamu juga tidak baik kepada mereka”.

Usai mendengar penjelasan dari sang Ibu, si anak langsung memeluk sang ibu dengan air mata menetes dipipinya…

“Terimakasih bu… aku sayang ibu… aku sayang teman-temanku… aku sayang semuanya…”

I Love U Mom… Happy Mother’s Day… 

Filed Under: Inspirasi, Sastra

Edelweiss di Taman Bahtera

20 November 2011 by Rosid

Dua tahun sudah ku membentangkan layar bahtera pernikahan dengan istriku yang sangat ku sayangi, Indah Putri Lembayung. Awal-awal perjalanan kehidupanku pasca pernikahan selalu diwarnai indahnya pulasan tinta romantisme. Terlihat dan terasa sangat bahagia. Tidak jarang orang terdekatku selalu menyebut kalau Aku dengan Indah adalah kedua pasangan yang sangat ideal.

Di usia pernikahanku yang masih muda tersebut, perhatianku terhadap Indah istriku mulai teralihkan. Awal ku mencintai Indah tidak terlepas dari kepribadiannya yang sederhana, keibuan, dan memang cantik. Segala apa yang ada di diri Indah bagiku sudah lebih dari cukup. Bukan ku bermaksud terlalu melebih-lebihkannya, tapi memang sepertinya tidak ada alasan bagiku untuk tidak mencintai dan menyanyangi.

Tapi dasar keimananku yang masih sangat rapuh, masih saja kebejatan terus membayangiku. Hati nuraniku menginginkan Aku memiliki seorang istri yang soleha, mampu membentengi kekokohan rumah tangga, dan menjadi peri bagi anak-anakku kelak. Dan Allah telah benar-benar mengabulkan keinginan nuraniku tersebut dengan menyandingkan Indah disisiku. Tapi itu nuraniku, lain dengan ketidakmampuan pengendalian diriku. Istriku sudah begitu luar biasa, tapi tetap saja aku selalu merasa tertarik dengan perempuan yang berpenampilan seksi dan menggoda.

Ketidakmampuanku dalam mengendalikan diri benar-benar menggetarkan kekokohan rumah tanggaku yang pondasi cintanya baru saja dirintis.

Hampir setiap hari aku pulang larut malam. Begitu pulang kerja langsung jalan sama teman-teman ke tempat hiburan yang selalu diramaikan wanita-wanita berpenampilan seksi dan menggoda. Pulang dalam keadaan mabuk sudah menjadi sesuatu yang biasa bagiku mungkin menyiksa bagi istriku. Berhari-hari tak pernah aku nikmati lezatnya masakan Indah. Bayangan kelezatanya bagiku sudah terkalahkan oleh menyenangkannya dunia luar yang tanpa hadirnya sosok istriku. Sejujurnya memang tidak ada yang salah dengan diri Indah maupun kondisi dirumah, tapi kerapuhan imanku memang telah memalingkan perhatianku terhadap banyak hal, termasuk istriku.

Suatu malam, aku pulang dalam kondisi yang tak terkendali tapi tidak mabuk. Persoalan pekerjaan membuatku merasa mumet dan tertekan. Akibat situasi tersebut, kekesalan dan emosiku malah terlepaskan kepada istriku. Jiwaku yang (mungkin) setengah gila, aku ajak tiga orang perempuan untuk menghiburku dirumah. Tentu saja itu sangat membuat Indah sangat terpukul, tapi disaat itu aku tidak menyadari kalau Indah akan merasa terpukul. Yah… kehadiran Indah tak ubahnya seperti sosok patung yang ada dan tiadanya tidak berarti apa. Intinya memang perilakuku sangat biadab.

Esok hari dari malam tersebut, aku terbangun dengan kondisi kesendirian, aku teritdur dalam kondisi mabuk berat. Sementara apa yang ku lakukan dengan tiga orang perempuan tadi malam entah apa, yang pasti tidak mungkin malaikat Kirâman Kâtibîn mencatatkannya sebagai amal baik. Saat ku terbangun, tiga orang perempuan tersebut sudah angkat kaki dari rumahku. Tidak hanya itu, ternyata Indahpun pergi dari rumah.

Perginya Indah sama sekali tidak membuatku khawatir. Aku tidak membencinya, tapi meskipun aku tidak membencinya sikapku ternyata lebih parah dari benci, yaitu tidak peduli.

Dalam kesendirian, gemerlapnya dunia hiburan malam lambat laun membuatku merasa jenuh. Waktu luangku banyak ku habiskan di depan laptop, baik untuk sekedar main game, chatting, ataupun update berita. Ketika banyak menghabiskan waktu diinternet inilah pikiranku tiba-tiba benar-benar teringat pada sosok Indah Putri Lembayung, istriku yang terusir oleh kebodohanku. Dalam perenunganku aku mulai sadar kembali, kalau Aku telah banyak lalai, tersesat, lupa diri, diselimuti kebodohan, ditutupi kerapuhan.

Tidak banyak berpikir lagi, aku lekas mengenakan jaket dan pergi mencari istriku tercinta yang telah aku sia-siakan kesetiaanya. Kupacu sekencang mungkin sepeda motor yang ku kendarai menuju rumah mertuaku di Sumedang. Butuh waktu sekitar 2 jam untuk perjalanan dari Cimahi ke Sumedang.

Sesampainya di Sumedang, aku disambut dengan sangat hangat dan ramah oleh kedua mertuaku. Terus terang, aku masih bertanya-tanya “kenapa mereka masih begitu ramah ?”, meskipun anak semata wayangnya telah aku perlakukan dengan sangat tidak wajar.

“Assalamu’alaikum…!!!”

“Wa’alaikumsalam… !, eh… Akmal… masuk-masuk. Waduuuh, jam berapa dari Cimahi ?, gimana perjalanannya ?”. Ayah Indah menyambut kedatanganku dengan sangat ramah penuh senyuman.

“Sehabis Isya Pak, alhamdulillah lancar.”

“Bu… ibuuu… N’dah mana ?, ada Akmal nih baru datang… “

“Iya Pa… ! Eh jang Akmal, tuh N’dahnya ada dikamar. Lagi isya kayaknya, tadi habis bantuin ibu dulu nganterin jahitannya Wa Ani. Ke kamar aja, sekalian istirahat dulu, lumayan cape kan Cimahi – Sumedangmah ?” Ibunya Indah menyambutku dari arah kamarnya, juga dengan sangat hangat.

“Iya bu… Bapak sama ibu gimana kabarnya ?”. tanyaku. Sementara dalam hatiku masih penuh tanda tanya.

“Alhamdulillah bapak sama ibu baik… Eh, udah taruh dulu tuh tasnya di kamar… gampang kita ngobrol-ngobrolmah, yang penting kamu istirahat dulu”. Dengan kalimat yang sangat penuh kasih sayang, Bapaknya Indah menyarankanku untuk istirahat terlebih dahulu.

Akupun langsung permisi menuju kamar Indah, kamar yang pasti punya berjuta kesan disaat Indah masih gadis dulu sebelum ku pinang dan kemudian ku ajak tinggal di Cimahi agar lebih dekat dengan tempatku bekerja.

Saat ku buka pintu kamar, persis sekali Indah baru selesai menunaikan shalat. Begitu dia melihat wajahku, senyum manisnya langsung terkembang dihiasi lengsung pipit di kedua pipinya, pandangannya menatapku penuh kesetiaan dan pengabdian.

“Ya Allah… kesempurnaan kuasa-Mu hadir melalui sosok wanita yang tidak pernah menorehkan luka sedikit di hatiku ini.” Gumamku dalam hati yang diiringi linangan air mata atas pengakuan penuh dosa.

Seketika istriku memeluk tubuhku, tangannya yang penuh ketulusan mengusap air mataku. Sungguh, aku tidak habis pikir betapa sabarnya istriku.

“Indah kangen pisan kang, akang udah selesai tugasnya ?” Tanya indah kepadaku sambil  menutup pintu.

Tugas ?, awalnya aku tidak mengerti tentang pertanyaan tersebut sampai akhirnya aku bisa memahami, kalau ternyata Indah bilang ke orang tuanya bahwa dia mau tinggal sementara di Sumedang karena aku sedang ada tugas dadakan keluar dari tempat bekerja, Indah tidak berani kalau tinggal sendirian dirumah. Iya sangat yakin kalau Allah akan mengabulkan do’anya selama ia bersungguh-sungguh memintanya, saking yakinnya iapun yakin kalau aku akan kembali untuknya.

Istriku terpaksa berbohong kepada orang tuanya tentang diriku. Dengan penuh rasa sayang ia melindungi kehoramatanku, ia menutupi kebobrokanku. Ia berani bertaruh sangat luar biasa antara “mudah-mudahan aku sebagai suaminya bisa segera sadar” atau “dia akan menanggung malu yang luar biasa jika aku sebagai suaminya tak kunjung sadar”. Ya Allah… betapa besarnya jiwa seorang perempuan yang engkau anugerahkan kepadaku…

Saat aku duduk ditempat tidur, Indah lantas membereskan tas dan pakaianku. Disaat aku rebahan untuk sedikit merilekskan badan, Indah langsung ke dapur merebus air untuk aku mandi. Sangat seperti biasanya waktu kami hidup bersama tanpa ada persoalan.

Belum banyak yang kami bicarakan memang. Seolah-olah menjadi satu karakter Indah kalau dia tidak akan banyak mengajakku berbicara banyak jika aku terlihat lelah, dan kecuali jika memang aku yang mengajaknya berbicara. Dia bukan hanya tau bagaimana caranya melayani seorang suami, tapi juga mengerti apa yang harus dilakukan.

Dan ternyata banyak fakta lain tentang kemulian istriku yang sama sekali tidak aku sadari.

Disaat aku mabuk ataupun marah, ia tidak marah. Tidak marahnya dia bukan karena dia tidak menyayangiku, tapi dia berpikir seandainya dia marah mungkin akupun akan lebih marah lagi, dan itu akan mengarahkan kami pada pertengkaran. Semakin mendekatkan kami pada kehancuran rumah tangga. Sebagai seorang istri dia benar-benar menjadi pondasi keluarga yang kokoh, yang menjadi penyeimbang saat aku rapuh.

Saat Indah merebus air inilah ku dapati sebuah buku diari datas mejanya, tepat ku buka halaman yang didalamnya terdapat sebuah balpoin.

Suamiku sayang,

Maafkan aku yang tanpa seizinmu pergi meninggalkanmu dalam keadaan buruk.

Maafkan aku yang tanpa seizinmu melangkahkan kaki keluar dari hizab.

Mungkin ini adalah dosa besarku, tapi aku hanya berharap tidak ingin ada dosa yang lebih besar lagi.

Aku pergi meninggalkanmu bukan aku membencimu,

Aku pergi bukan untuk menyakitimu,

Aku pergi supaya kenyataan tidak meruntuhkan kesabaranku yang akan membawa lidahku pada kalimat perpisahan, karena aku sangat mencintaimu. Mencintaimu ibarat sebuah fatwa, sekali terucap pantang ditarik, mungkin itulah menurutku.

Aku bukanlah edelweiss, tapi aku akan berusaha seperti edelweiss yang tidak pernah kering akan kasih sayang dan layu akan kesabaran.

Aku bukanlah edelweiss, tapi aku akan berusaha seperti edelweiss yang setiap orang tidak mudah untuh menyentuhku dengan penjagaan keimanan dan hijab cintamu.

Aku bukanlah edelweiss, tapi aku akan berusaha seperti edelweiss yang langka dan berbeda ketika banyak perempuan yang lalai akan tanggung jawabnya.

Suamiku sayang…

Hadirmu adalah jawaban terindah atas doa’-do’aku

Kini aku meminta kepada Yang Maha Kuasa, “Ya Allah, kalaulah aku tidak sempurna dipandangan suamiku, tunjukanlah kepadaku bagaimana menjadi istri yang sempurna. Apapun akan ku lakukan untuk-nya selama tidak melanggar syariat-Mu”.

Suamiku sayang…

Aku hanyalah tulang rusuk yang bengkok, yang bisa engkau patahkan atau engkau luruskan. Tapi, apapun yang engkau lakukan aku adalah tetap bagian dari hidupmu, bagian dari ruas-ruas tulang didadamu, bagian dari orang-orang yang pernah dan mungkin akan terus mengisi ruang hatimu sebagaimana engkau menempati ruang hatiku.

Saat terjadi kesalahan yang ku lakukan, mungkin saat itu engkau mendambakan diriku sebagai istri tanpa kekurangan dan kelemahan. Perbaikilah kekurangan diriku dengan lemah lembut, karena itulah cara terbaik meluruskan jiwa yang rapuh.

Aku tahu sebagaimana engkau juga tahu, bahwa ragaku ini, diriku ini, hanya halal buatmu seorang. Maka pintaku, berilah aku sesuatu yang halal yang bisa kunikmati sebagai nafkah lahir dan batinku. Bantulah aku berlaku pintar menunaikan hakmu, sebagaimana aku akan berusaha menjadikanmu pandai berbaik-baik kepadaku. Dengan begitu, aku berharap agar kita berkesempatan bersama menggapai ridho-Nya.

Ya Allah ya Rabbi…

Jadikanlah suami yang ku cintai melalui cintamu menjadi seorang imam yang soleh dan menyolehkan, yang sabar dan menyabarkan, yang lurus dan meluruskan, yang sukses dan menyukseskan.

Aku yakin, dengan segala petunjuk-Mu suamiku akan kembali mendekapku penuh cinta… Aku yakin, karena aku percaya bahwa Engkau masih disisiku dan disisi suamiku.

Apa yang ku baca dari tulisan singkat istriku menggambarkan bahwa betapa banyaknya kesabaran yang terus ia pendam. Ia jadikan setiap keburukanku sebagai amanah baginya yang harus dijaga sebagai seorang istri, bahkan kepada keluarganya sekalipun. Benar-benar hanya dia, Allah, dan mungkin buku kecil ini. Indah benar-benar menjadi tiang yang kokoh bagi rumah tanggaku dan kunci yang teguh bagi rahasia kehormatanku.

Terimakasih banyak ya Allah, Engkau masih menyelamatkan kehormatanku. Engkau masih menyelamatkan rumah tanggaku. Engkau masih menjaga cinta istriku…. Istriku yang menjunjung tinggi kehormatan rumah tangga, yang tidak pernah kering dan layu kasih sayang dan kesabarannya, yang tidak semua perempuan bisa menjadi sepertinya… setidaknya itulah yang ku lihat dan kurasakan.

Disklaimer :

Sesudahnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila didalam cerpen tidak bermutu yang saya karang ini ditemukan banyak kesalahan. Baik dari segi penulisan maupun penceritaannya. Mohon maaf  juga atas kesamaan nama tokoh dan tempat yang saya tuliskan. Mudah-mudahan didalamnya terkandung nilai-nilai yang dapat memberikan manfaat. Amin

Filed Under: Sastra

  • Page 1
  • Page 2
  • Page 3
  • Next Page »

© 2018 · Rosid · Built on the WordPress